Double winding inductor (flyback transformer)

[ [ images & links ] ]
 

Di antara topologi dasar konverter yang umum dipelajari, flyback converter memiliki keunikan tersendiri. Pertama, dalam bentuk dasarnya ini adalah konverter yang memiliki galvanic isolationOutput dan input dipisahkan dengan sebuah transformer (mutual inductance). Meskipun menurut beberapa sumber penggunaan istilah transformer untuk komponen mutual inducance di flyback ini sebenarnya ‘bermasalah‘. Namun untuk sementara ini demi penyederhanaan proses belajar, istilah transformer (trafo) masih dapat dipergunakan. Nanti kita akan kembali dengan singkat ke masalah ini di bagian lain.

Thomas Mann - Order and simplification are the first steps...Gambar 1. Penyederhanaan.

Keunikan kedua adalah bahwa flyback converter tidak hanya dapat diterapkan di sistem dc-dc converter yang bertegangan sangat rendah. Beberapa sistem flyback converter dirancang untuk dapat bekerja di level tegangan yang lebih tinggi, level tegangan jala-jala/utilitas. Hanya diperlukan diode penyearah dan filter/tapis, tidak diperlukan trafo tambahan sebagai penurun tegangan di sisi input suatu sistem flyback converter

[ Semua gambar di bawah ini dapat dilihat versi tampilan yang lebih besar dengan cara melakukan klik-kanan di gambar lalu memilih “Open image in new tab” pada browser. ] 

Sebelum mempelajari tentang cara kerja (theory of opearation/mode of operation) ada baiknya sejenak mengulang tentang dot convention di transformer. Bahan dan tautan yang lebih banyak terdapat di artikel ini.

Gambar 2. Tegangan sisi primer satu fase dengan sisi sekunder.

Gambar 3. Tegangan sisi sekunder berbalik fase dari sisi primer.

Gambar 4. Simulasi dot convention dengan gelombang sinus di LTspice.

Semua transfomer dari Gambar 2 sampai Gambar 4 masih secara electrical terhubung dengan adanya ground node bersama. Ini hanya dipakai sekadar untuk memudahkan penunjukkan polaritas saja, yaitu menggunakan gnd acuan bersama. Dalam praktik ada banyak aplikasi yang benar-benar memisahkan kelistrikan sisi primer dengan sisi sekunder trafo. Cara kerja trafo flyback yang dipergunakan untuk menyimpan sementara dan memindahkan energi tidaklah sama persis dengan transformer (mutual inductance) yang biasa ditemui di sistem penyearah untuk bekerja di jala-jala utilitas (PLN). Di flyback converter, inti ‘transformer’ memang dirancang untuk memiliki kemampuan menyimpan energi (dengan adanya celah udara). Namum demikian prinsip dot convention tetap berlaku dan penting dipahami untuk mengerti cara kerja topologi flyback converter. Selain di artikel sebelumnya, kutipan dari textbook ini juga penting diketahui {{1}}.

The dot convention is used to indicate relative polarity between the two windings. When the voltage at the dotted terminal on one winding is positive, the voltage at the dotted terminal on the other winding is also positive. When current enters the dotted terminal on one winding, current leaves the dotted terminal on the other winding.<span class="su-quote-cite">Daniel W. Hart</span>

Topologi  flyback converter sebenarnya dikembangkan dari buck-boost converter topology. Topologi buck converter sangat bermanfaat karena memiliki efisiensi yang tinggi dibanding topologi yang lain, tetapi hanya bisa dipakai untuk menurunkan level tegangan. Topologi boost converter bermanfaat karena mampu menaikkan level tegangan keluaran dari level tegangan masukan. Tetapi konverter ini pun hanya bisa menaikkan, tidak bisa menurunkan tegangan. Karena itu, diperlukan suatu konverter yang mampu melakukan keduanya. Suatu buck-boost converter dibuat untuk bisa melakukan keduanya, sekalipun efisiensinya lebih rendah dari buck converter. Istilah buck-boost converter bisa bermakna luas sebagai rumpun konverter atau bisa juga bermakna sempit yaitu merujuk hanya pada salah satu bagian kelompok saja. Dalam pengertian luas, buck-boost converter terdiri dari sistem yang non-inverting dan sistem inverting. Dalam makna yang sempit, jika disebut buck-boost converter maka sebenarnya yang dimaksud adalah inverting buck-boost atau yang kadang disebut sebagai classical buck-boost converter. Sekalipun lebih versatile karena bisa menaikkan atau menurunkan tegangan, tetapi inverting buck-boost topology memiliki kekurangan. Sebagaimana namanya, polaritas tegangan keluaran akan selalu berkebalikan dari masukannya. Maka dari itu diperlukan perubahan tahap berikutnya, evolusi topologi masih dilanjutkan. Salah satu bentuk non-inverting buck-boost topology adalah rangkaian SEPIC. Evolusi buck-boost topology juga kemudian menjadi flyback topology yang tetap memiliki kemampuan untuk menaikkan dan menurunkan tegangan. Tipe ini berpotensi memiliki isolasi antara input dan output. Meskipun pada beberapa sistem, keberadaan umpan balik untuk pengendalian membuat isolasi ini tidak lagi sempurna. Granary of Quotes: Progress and change - George Bernard Shaw

Gambar 5. Evolusi dari buck-boost ke flyback [sumber].

Gambar 5 menunjukkan perubahan yang digambarkan secara bertahap, dari satu topologi ke topologi lainnya. Untuk bisa memahami mengapa pergeseran posisi diode dari (c) ke (d) di Gambar 5, perlu kembali mengingat tentang dot convention. Keterangan lebih rinci bisa dibaca di sumber gambar{{2}}.

Gambar 6. Model ‘flyback transformer’ dengan magnetizing inductance.

Model transformer di rangkaian di Gambar 5 (d) adalah bentuk rangkaian yang umum untuk menggambarkan sebuah topologi flyback converter. Namun demikian sebenarnya gambar itu tidak tepat karena model ‘transformer’ itu belumlah cukup untuk sebuah ‘flyback transformer’. Di Gambar 6 terlihat ada sebuah induktor lain di sebelah kiri model trafo dengan tulisan LM. Notasi LM atau Lm dipergunakan untuk menandai suatu magnetizing inductance, yang dipakai untuk mewakili kondisi magnetisasi inti (magnetization of the core) {{3}}. Yaitu kondisi yang menggambarkan magnetic flux m) di inti, terutama saan sisi sekunder berada dalam kondisi open circuit. Sebelum melanjutkan bahasan, ada baiknya kita membandingkan beberapa sumber kutipan berbeda mengenai fenomena yang sama (yaitu magnetizing inductance). Selain itu sekaligus juga membandingkan kutipan dari textbook komersial (#fairUse, #educational) dengan kutipan dari sumber yang bebas diakses di Internet.  Barack Obama Quote: “Literacy is the most basic currency of the ...

This inductance is termed as the magnetizing inductance because it is associated with the magnetizing current. Equation (2.34) indicates that the magnetizing inductance corresponds to the inductance that is evaluated at the primary side of the transformer with the secondary winding removed or unaccounted for, … The flyback converter utilizes the magnetizing inductance of the isolation transformer as its functional inductance. Therefore, the isolation transformer should be fabricated in such a way that could offer a controllable magnetizing inductance. One easy method to achieve this goal is to create a gap in the magnetic path of the transformer. This is commonly implemented by introducing an air gap between the magnetic cores, which effectively determines the magnetizing inductance of the isolation transformer. {{4}} <span class="su-quote-cite">Byungcho Choi</span>
In some applications in this chapter, the ideal transformer representation is sufficient for preliminary investigation of a circuit. The ideal model assumes that the series resistances and inductances are zero and that the shunt elements are infinite. Asomewhat better approximation for power supply applications includes the magnetizing inductance Lm, as shown in Fig. 7-1d. The value of Lm is an important design parameter for the flyback converter… Energy is stored in Lm when the switch is closed and is then transferred to the load when the switch is open. {{5}}<span class="su-quote-cite">Daniel W. Hart</span>
Mari bandingkan keterangan di textbook dengan akses yang sebenarnya terbatas di atas dengan beberapa sumber yang bisa bebas diakses sebagai berikut ini.
The behavior of most transformer-isolated converters can be adequately understood by modeling the physical transformer with a simple equivalent circuit consisting of an ideal transformer in parallel with the magnetizing inductance. The magnetizing inductance must then follow all of the usual rules for inductors; in particular, volt-second balance must hold when the circuit operates in steady-state. This implies that the average voltage applied across every winding of the transformer must be zero.<span class="su-quote-cite"><a href="http://ecee.colorado.edu/~ecen4517/materials/flyback.pdf" target="_blank">The Flyback Converter, Lecture notes, ECEN4517</a></span>

Kutipan dari ‘Lecture notes ECEN4517’ di atas dapat lebih mudah dipahami jika sambil sesekali melihat Gambar 6. Magnetizing inductance (LM atau Lm) di sistem flyback akan berfungsi sebagai penyimpan energi sementara dari sisi primer sebelum nanti ada saatnya dipindahkan ke sisi sekunder.

Khusus di bagian berikut ini, kutipan berasal dari mata kuliah Green Electronics yang diampu oleh Prof. William Dally dari Standford.

Gambar 7. Model transformer [sumber]

The flyback converter is interesting because it uses the magnetizing inductance of the transformer for energy storage. This is fundamentally different than the other isolated converters for which the magnetizing inductance is a parasitic element.<span class="su-quote-cite"><a href="https://web.stanford.edu/class/ee152/resources/Course_Notes_092416.pdf" target="_blank">EE155/255 Course Notes</a></span>
Unlike the transformers in other isolated converters, the transformer in a flyback converter stores energy. During the First half of each cycle, the primary winding stores energy in the magnetizing inductance. This energy is released during the second half of the cycle. Because its primary function is to store energy, a flyback transformer is designed like an inductor, not a transformer.<span class="su-quote-cite"><a href="https://web.stanford.edu/class/ee152/resources/Course_Notes_092416.pdf" target="_blank">EE155/255 Course Notes</a></span>

Gambar 8. Magnetizing inductance  dan air gap [sumber screenshot].

Gambar 9. Peran magnetizing inductance di topologi flyback [sumber].

Gambar 10. Fungsi dasar transformer [sumber]

 

The magnetizing inductance is solely a magnetic property of the core and is not at all effected by the load current drawn by the transformer secondaries..<span class="su-quote-cite"><a href="https://www.engr.colostate.edu/ECE562/98lectures/l34.pdf" target="_blank">LECTURE 34 HIGH FREQUENCY TRANSFORMER</a></span>
Khusus untuk bagian ini, semua kutipan berasal dari dokumen handbook karya Lloyd H. Dixon, Jr

Gambar 11. Screenshot definisi trafo dan induktor.

Gambar 12. Screenshotmagnetic core.

Gambar 13. Screenshotcore limitations.

Gambar 14. Screenshotenergy storage.

Gambar 15. Magnetics in SMPS [sumber].

Gambar 16. Transformer.

Gambar 17. ‘Transformer’ w/energy storage.

Gambar 18. Operasi dari trafo.

Gambar 19. Flyback transformer.

Dari sejumlah pemaparan yang dikutip di atas dapat dimaklumi jika Slobodan Cuk menyetujui pendapat berikut ini:

“Really the ‘flyback transformer’ does not exist, it is a simple inductor where all the energy to be transferred is stored in GAP.”

Juga berpendapat sebagai berikut:

Definition of the COUPLED INDUCTORS is that once the coupling is removed that converter still must operate.

 

Di awal saya telah menuliskan clue bahwa sesungguhnya transformer yang dipergunakan di topologi flyback tidaklah persis sama dengan yang lebih umum secara awam ditemui untuk bekerja di sistem AC utilitas. Yaitu trafo yang dipakai untuk menaikkan/menurunkan tegangan dan melakukan isolasi. Berikutnya saya sampaikan simulasi trafo dalam bentuk yang paling sederhana sebagai komponen mutual inductance untuk baseline. Lalu dari sana saya cuplik bagaimana penggunaan model flyback transformer yang lebih mendekati kenyataan, di Gambar 5 dan Gambar 6. Di sana bisa dilihat keberadaan LM atau Lm yang di flyback converter akan berperan penting. Untuk memahami magnetizing inductance saya tampilkan kutipan dari beberapa textbook komersial, ini berfungsi sebagai pembanding dan tolok ukur. Saya tampilkan sejumlah kutipan dokumen yang mengandung informasi yang diperlukan. Informasi ini dikutip dan bisa diperbandingkan satu sama lain dan terhadap kutipan dari textbook.  Ini adalah contoh bagaimana kita bisa mengkonstruksi suatu pemahaman terhadap suatu hal dari sebaran kepingan informasi dari berbagai sumber. Menentukan batas kedalaman bahasan yang kita perlukan, menimbang mana saja bahan yang dipakai dan mana yang setidaknya untuk sementara belum dipakai. Ini adalah bagian dari membangun dan memperkuat literasi. 

Di artikel ini dan beberapa artikel lain, kedalaman bahasan mengenai induktor dan transformator (transformer) akan dibatasi. Bagi yang belum mengenal sama sekali, pokok bahasan teori medan, hal-ihwal mengenai elektromagnetik, EMI/RFI, induktor, dan transformer berikut semua variasi/turunannya adalah bahasan yang pelik. Saya tidak bermaksud menulis di bagian ini untuk menakut-nakuti. Sebaliknya justru untuk memberi semangat jika ada generasi muda yang sedang belajar dan kebetulan ada beberapa hal/bahasan yang kemudian sulit/menyulitkan. Kalau memang diperlukan, kita masih selalu bisa belajar dari (pengalaman dan pemahaman) orang lain. Melalui Internet, kapan pun dan di mana pun orang-orang yang hidup di zaman sekarang lebih berpeluang untuk mendapatkan informasi dibanding mereka yang hidup seribu tahun lalu. Cara mencari informasi ini serupa dengan metode triangulasi yang dipakai untuk menentukan posisi. Bahkan kalaupun ternyata tetap sulit untuk dipahami, hikmah baiknya adalah kita tidak mudah untuk merasa sudah pintar dan menjadi enggan untuk terus belajar. Sebagai contoh yang bagus, anda bisa membaca artikel berikut ini atau jika ingin membaca versi yang lebih panjang ada di sini. Jangan lupa juga membaca bagian komentarnya (di masing-masing halaman tautan), ini ‘sangat disarankan’. Penulis artikel itu ‘bukanlah orang sembarangan’, beliau adalah salah seorang perintis di bidang elektronika daya (power electronics) yang karyanya menjadi salah satu bahan kajian di banyak textbook hingga saat ini. Beliau adalah seorang pensiunan profesor di Caltech dan masih aktif di bidangnya melalui TESLAco. Mereka yang menanggapi di bagian komentar pun ‘bukan orang sembarangan’ juga. Mereka juga ada yang merupakan akademisi, profesor, practicing engineer, dan penulis buku di bidang ini. Mereka juga pakar di bidang yang sama, sebagian nama bahkan mungkin anda kenal. Mereka bersilang pendapat mengenai definisi dan penerapannya di salah satu cabang bahasan mengenai transformer dan coupled inductors. Bandingkan juga dengan beberapa kutipan berikut ini:

A flyback transformer is a coupled inductor with a gapped core. During each cycle, when the input voltage is applied to the primary winding, energy is stored in the gap of the core. It is then transferred to the secondary winding to provide energy to the load. Flyback transformers are used to provide voltage transformation and circuit isolation in flyback converters.<span class="su-quote-cite"><a href="https://www.coilcraft.com/edu/flyback_transformer.cfm" target="_blank">A Guide to Flyback Transformers</a></span>
In its operation the arrangement of the two inductors is more correctly called a ‘magnetically-coupled inductor’. But because of the two separate windings, it is commonly referred to by designers as a ‘flyback transformer’. Strictly this is a misnomer, but for convenience this article will refer to it this way.<span class="su-quote-cite"><a href="https://www.futureelectronics.cn/en/resources/ftm/201802/15" target="_blank">Flyback transformer design: practical guidance on minimising losses </a></span>
Transformers are a key component in many switching regulator designs, providing an isolation barrier in dangerous high power systems, allowing very high step-down or step-up ratios in high voltage designs and (with an extra winding) easily accommodating multiple or inverting outputs. Flyback, forward and SEPIC converters all make use of transformers. This article tells you what you need to know to add transformers to LTspice/SwitcherCAD III simulations.<span class="su-quote-cite"><a href="https://www.analog.com/en/technical-articles/using-transformers-in-ltspice-switcher-cadiii.html" target="_blank">Using Transformers in LTspice/Switcher CAD III</a></span>

Fenomena silang pendapat seperti ini bagi saya dapat membantu menjaga kewaspadaan (dan ‘kewarasan’), mengenai siapa saya dan batas kemampuan saya. Dari setiap yang kita ketahui, selalu masih sangat banyak yang tidak kita ketahui. Juga ada beberapa pendapat yang berbeda mengenai satu hal yang sama (beserta ketepatan berdasarkan kedalaman penggunaan). Dengan begitu saya terdorong untuk sedapat mungkin tidak berhenti belajar, selagi masih mampu. Hal yang sama juga disarankan kepada mahasiswa, orang-orang muda pewaris Bumi di masa depan. Teruslah belajar. Sebagai penutup bagian/blok ini bagi mahasiswa, orang-orang muda yang masih bersemangat untuk belajar, seperti yang disampaikan di awal bahasan tentang transformer ini memang sering sangat rumit. Terutama kalau pembahasan sudah semakin dalam (seperti layaknya semua hal lain dalam kehidupan) dan semakin banyak unsur ketidakidealan yang disertakan. Anda mungkin bahkan akan menemukan kata-kata black art untuk menggambarkannya.

In the design engineering community, transformer design and prototyping is generally regarded as a black art. To the uninitiated, the wide range of parameters affecting transformer performance – from selection of core material and size to the arrangement of the windings around the core – can appear confusing. In fact, the process of transformer design can be worked through in an orderly way by applying a small number of important equations, combined with a certain degree of trial and error, perhaps better described as ‘experienced guesswork’. <span class="su-quote-cite"><a href="https://www.futureelectronics.cn/en/resources/ftm/201802/15" target="_blank">Flyback transformer design: practical guidance on minimising losses </a></span>
With rare exception, schools of engineering provide very little instruction in practical magnetics relevant to switching power supply applications. As a result, magnetic component design is usually delegated to a self-taught expert in this “black art“. Thereare many aspects in the design of practical, manufacturable, low cost magnetic devices that unquestionably benefit from years of experience in this field. However, the magnetics expert is unlikely to be sufficiently aware of the SMPS circuit problems caused by the various parasitic elements and the impact of the specific circuit locations of these elements. This often results in poor decisions in the magnetic component design. <span class="su-quote-cite"><a href="https://www.ti.com/lit/ml/slup123/slup123.pdf" target="_blank">Magnetics Design for Switching Power Supplies</a></span>
If many electronics engineers regard magnetics design as a black art, then it is also true that many transformer engineers regard pulse transformer design in the same way. <span class="su-quote-cite"><a href="https://bit.ly/3ehCRUf" target="_blank">Magnetic Components: Design and Applications</a></span>
Despite the apparent simplicity of the block diagram shown, the reality is that there is nothing even remotely trivial about this technique. You can simplify the final design by not using active PFC, but there are still many serious challenges to overcome. The design of a switchmode transformer is almost a ‘black art‘, and achieving full isolation that complies with relevant safety standards is a feat unto itself. Ultimately, while it’s certainly likely to provide the highest efficiency of all the methods discussed, the circuit complexity (and the danger of working with live mains powered circuitry) means that it’s very hard to recommend as a DIY project. <span class="su-quote-cite"><a href="https://sound-au.com/articles/preregulators.htm" target="_blank">Power Supply Pre-Regulator Techniques</a></span>
Since the seventies, switchmode power supply design has developed from a somewhat neglected “black art” to a precise engineering science. The rapid advances in electronic component miniaturization and space exploration have led to an ever-increasing need for small, efficient, power processing equipment. In recent years this need has caught and focused the attention of some of the world’s most competent electronic engineers. As a result of intensive research and development, there have been many new innovations with a bewildering array of topologies. <span class="su-quote-cite"><a href="http://www.industrial-electronics.com/switching-power-supply_0.html" target="_blank">Fundamentals of Switching Power Supplies</a></span>

Kutipan di atas hanyalah sebagian kecil contoh saja, beberapa sumber mungkin menggunakan kata-kata yang berbeda tetapi sebenarnya menyampaikan maksud yang sama. Ini justru tidak dalam rangka mematahkan semangat tetapi ajakan untuk proporsional, ini memang bukan bidang yang teramat mudah untuk didalami.  Bahasan tentang flyback converter topology  akan dilanjutkan ke artikel berikutnya. Untuk seri artikel mata kuliah Elektronika Daya II, bisa dilihat di halaman ini. [[1]]D. W. Hart, Power electronics, 1st ed. New York: McGraw-Hill Higher Education, 2010.[[1]] [[2]]The Flyback Converter, Lecture notes, ECEN4517.[[2]] [[3]]P. C. Sen, Principles of electric machines and power electronics, 3rd ed. United States: Wiley, John & Sons, 2013.[[3]] [[4]]B. Choi, Pulsewidth modulated DC-to-DC power conversion: Circuits, dynamics, and control designs. United States: John Wiley & Sons, 2013.[[4]] [[5]]D. W. Hart, Power electronics, 1st ed. New York: McGraw-Hill Higher Education, 2010.[[5]]

font cache: Ψ α β π θ μ Φ φ ω Ω ° ~ ± ≈ ≠ ≡ ≤ ≥ ∞ ∫ • ∆

*Pengaturan footnote tidak dapat sepenuhnya sesuai dengan format pengutipan IEEE.

Transformer tegangan bolak-balik satu fase dengan beban resistor

Pada artikel sebelumnya tentang gelombang sinus pada tegangan A.C., trafo tidak dibebani. Kali ini transformer dibebani dengan dua buah resistor 100 Ohm dengan kemampuan 5 Watt.

 

Gambar 1. Konfigurasi rangkaian percobaan

 

Gambar 2. Set-up uji dengan komponen.

 

Gambar 3. Bentuk gelombang sinus pada kedua kanal menunjukkan bentuk gelombang sinus yang tidak ideal.

 

Gambar 4. Hasil simulasi rangkaian pada LTspice.

Pada Gambar 4, dapat dilihat hasil simulasi dengan LTspice terhadap konfigurasi rangkaian yang diuji dengan oscilloscope. Pada gambar itu kurva gelombang berwarna merah menggambarkan gelombang tegangan pada node vout. Pada pengujian hardware node ini diukur menggunakan kanal satu (CH1) pada oscilloscope dengan hasil keluaran berupa kurva gelombang berwarna kuning. Sedangkan kurva gelombang berwarna biru menggambarkan gelombang tegangan pada node tengah. Pada pengujian hardware node ini diukur menggunakan kanal dua (CH2) pada oscilloscope dengan hasil keluaran berupa kurva gelombang berwarna cyan. Pada Gambar 4, terdapat kotak informasi yang memberikan keterangan tentang gelombang pada node tengah. Di sana terlihat nilai rms terhitung sebesar 6.2225 V.

 

Gambar 5. Tampilan DSO dengan parameter utama gelombang di CH1 dan CH2.

Pada Gambar 5, terlihat bahwa prinsip pembagi tegangan terbukti. Nilai pengukuran gampang untuk dikenali karena komponen resistor yang digunakan memiliki nilai nominal yang sama. Nilai tegangan di CH2 adalah separuh dari nilai tegangan di CH1. Pada Gambar 5 juga dapat dilihat bahwa nilai pengukuran Vrms untuk CH2 6.20V tidak jauh berbeda dengan hasil simulasi dengan LTspice yaitu 6.2225 V. Ini memberikan keyakinan pada kemampuan mesin SPICE seperti pada LTspice untuk melakukan simulasi rangkaian. Tergantung pada seberapa detail model yang kita pergunakan dalam melakukan simulasi.

 

Gambar 6. Hasil pengukuran pada kanal satu (CH1) DSO pada tegangan terminal (node Vout).

 

Gambar 7. Hasil pengukuran pada kanal dua (CH2) DSO pada tegangan node tengah.

 

Gambar 8. Panduan istilah untuk memahami parameter hasil pengukuran DSO.

 

Kita bisa melakukan perhitungan “di dalam kepala” (on the fly), di belakang amplop atau kertas lainnya, dengan kalkulator atau dengan aplikasi. Berikut contoh pemanfaatan aplikasi untuk pembuktian pengukuran dan simulasi kita.

Gambar 9. Contoh pemanfaatan aplikasi Android untuk penghitungan pembagi tegangan.

 

Gambar 10. Contoh penggunaan aplikasi untuk melihat hubungan berdasar hukum Ohm.

Pada Gambar 10, kita lihat perhitungan yang menghubungkan antara nilai tahanan, tegangan, dan arus listrik. Dengan cara ini kita bisa mengetahui besar arus yang melalui suatu path dengan mengukur tegangan listrik yang antara node-nodenya. Pada CH2 kita mengukur nilai tegangan sebesar 6.2 Volt, dengan pengetahuan bahwa nilai nominal komponen tahanan (resistor) adalah sebesar 100 Ohm maka kita bisa mengetahui bahwa nilai arus yang melalui kaki-kaki resistor itu sebesar 62 mA.

Dengan percobaan simulasi dan pengukuran ini kita juga bisa mengetahui bahwa bentuk gelombang arus (yang diwakili gelombang tegangan pada CH2) bentuknya sama dengan gelombang tegangan terminal masukan. Berbeda hanya pada besar nilainya saja. Dengan demikian pada rangkaian yang bersifat resistif, gelombang tegangan dan arus dikatakan sefase (berada pada fase yang sama).

Simulasi sederhana transmisi tegangan listrik AC

Mengapa bahan kajian sejarah membuktikan bahwa penyedia/pengelola transmisi energi listrik lebih memilih untuk mempergunakan AC dan bukan DC? Mengapa HVDC baru dikembangkan kemudia di belakang hari? Mengapa transmisi listrik mempergunakan tegangan tinggi?

Ada cukup banyak sumber rujukan untuk menjawab pertanyaan seperti ini. Dalam tulisan ini, saya mulai dengan mempergunakan simulasi rangkaian dengan jaringan transmisi listrik yang disederhanakan. Penyederhanaan dengan memodelkan jaringan transmisi sebagai rangkaian listrik sederhana dengan sumber tegangan ideal dan komponen resistor ini sebatas untuk menunjukkan mengapa dahulu para engineer dan pebisnis memilih menggunakan mode transmisi AC daripada DC.

Persamaan yang diperlukan untuk memahami tentang sejarah penggunaan AC untuk transmisi enertgi listrik ini cukup sederhana.

screenshot_20160919-02353901.jpg.jpgGambar 1. Hukum Ohm

Dari Hukum Ohm pada Gambar 1, didapati bahwa jika nilai resistansi tetap maka korelasi antara arus yang melintas dan tegangan listrik di antara kaki-kaki resistor adalah berbanding lurus. Jika nilai R sebagai perbandingan V dan I tetap maka semakin besar nilai I (yaitu arus) yang melewati resistor maka akan semakin besar nilai beda potensial (tegangan listrik) yang terukur di antara kedua kaki resistor. Begitu pun jika nilai tegangan terukur di antara kaki-kaki resistor semakin besar maka nilai arus yang melintas pun akan semakin besar (sekali lagi jika nilai R tetap).

screenshot_20160919-0235550101.jpg.jpgGambar 2. Persamaan daya.

Pada persamaan daya di Gambar 2 dapat dilihat korelasi antara daya, arus dan resistansi. Jika nilai resistansi tetap maka nilai daya (belanja atau penggunaan energi per satuan waktu) bergantung pada nilai arus. Semakin besar arus yang melintasi resistor maka semakin besar daya. Artinya semakin banyak energi yang diubah menjadi panas, yang untuk banyak pengaturan dapat dianggap sebagai energi yang terbuang. Dalam sistem kelistrikan, kadang disebut juga sebagai rugi-rugi daya. Jadi semakin kecil nilai arus yang melintas maka semakin kecil juga rugi daya pada resistor (yang bisa dipakai untuk perumpamaan impedansi media transmisi listrik yang lebih kompleks).

Dengan menghubungkan persamaan pada Gambar 2 dengan persamaan pada Gambar 1 dapat dilihat pula konsekuensi nilai variabel arus dan resistansi terhadap nilai tegangan. Semakin besar nilai tegangan di kaki-kaki resistor maka semakin besar pula arus yang melintasinya. Artinya semakin besar pula energi yang dipakai (atau terbuang) per satuan waktu. Dengan kata lain power (dayanya) semakin besar pada resistor yang dimaksud.

Untuk memulai dengan rangkaian yang sangat sederhana, lihat Gambar 3. Sistem dimodelkan dengan menggunakan dua resistor, R1 mewakili penyederhanaan kabel listrik dan R2 mewakili beban. Bentuk rangkaian dasar seperti ini mudah untuk dikenali, ini adalah rangkaian pembagi tegangan. Bedanya dengan penggunaan rangkaian pembagi tegangan yang lebih umum adalah pada rangkaian ini yang dititikberatkan pada R2 adalah nilai dayanya, bukan nilai resistansinya. Untuk menjaga kesederhanaan, nilai impedansi kabel yang diwakili oleh R1 dibuat tetap, yaitu sebesar 10 Ω. Sedangkan nilai impedansi beban yang diwakili oleh nilai resistansi R2 tidak tetap. Demikian pula nilai arus yang melintas dan tegangan pada kaki-kaki R2, tidak dijaga bernilai tetap. Yang dijaga tetap hanyalah besar daya, yaitu 120 Watt.

screenshot_20160919-010704.jpgGambar 3. [klik pada gambar untuk memperbesar tampilan]

wp-1474218345605.pngGambar 4.

Dengan penetapan nilai (daya) R2 sebesar 120 W, maka untuk memudahkan simulasi perlu ditetapkan nilai awal resistansinya. Untuk itu dipakai nilai R2 sebesar 1,2 Ohm. Dengan nilai sumber tegangan ideal (DC) sebesar 112 V maka nilai arus yang melintasi seluruh resistor adalah sebesar 10 A, seperti hasil simulasi pada Gambar 5.

wp-1474218620824.pngGambar 5. [klik pada gambar untuk memperbesar tampilan]

Dari hasil simulasi pada Gambar 5 bisa didapatkan nilai daya pada R2 sebesar 120 W (hasil dari perhitungan (102*1,2)). Hasil yang sama sebagaimana yang ditunjukkan oleh Gambar 6. Rugi daya pada R1 adalah 1000 W (hasil dari perhitungan (102*10)). Total daya oleh sumber bisa juga dicari dengan menghitung (10 * 112), yaitu 1120 Watt.

screenshot_20160919-01160301.jpg.jpgGambar 6.

wp-1474218681685.pngGambar 7. [klik pada gambar untuk memperbesar tampilan]

Sekarang, jika besar nilai sumber tegangan ideal dinaikkan berkali lipat dari nilai asal, akan dapat dilihat pengaruhnya pada daya di R1 dan nilai total daya rangkaian. Untuk memudahkan katakanlah nilai tegangan diubah dari 112 V menjadi 1,2 kV (1200 V). Nilai R1 tetap dan nilai R2 diubah sehingga dengan pengaturan yang baru ini daya pada R2 tetap 120 W.

Dari hasil simulasi pada Gambar 7 dengan pembulatan bisa didapatkan nilai daya pada R2 tetap sebesar 120 W (hasil dari perhitungan ((10 mA)2*(12 kΩ))). Rugi daya pada R1 adalah 0,1 W atau 100 mW(hasil dari perhitungan ((100 mA)2*10)). Total daya oleh sumber bisa juga dicari dengan menghitung ((100 mA) * (1,2 kV)), yaitu 120 Watt.

Perhitungan dapat dilakukan secara manual di atas kertas, menggunakan kalkulator elektronik atau memanfaatkan telepon genggam pintar seperti pada Gambar 8.

p_20160919_01140101.jpg.jpgGambar 8. [klik pada gambar untuk memperbesar tampilan]

screenshot_20160919-02403801.jpg.jpgGambar 9.

Dari hasil simulasi dan perhitungan bisa dibandingkan bagaimana dengan menaikkan nilai tegangan sumber (dan nilai R2) efisiensi daya dapat diperoleh. Daya pada R1 yang semula 1000 W menjadi 0,1 W. Lalu total daya yang semula 1120 Watt menjadi ≅120 Watt. Semuanya dengan tetap memberikan daya pada R2 sebesar 120 Watt.

Tantangan dan pertanyaannya kemudian adalah bagaimana dengan nilai tegangan listrik pada beban yang diwakili oleh R2 dalam simulasi ini? Jika sebelumnya beban tersebut “menerima” tegangan sebesar 12 V, pada pengaturan yang kedua beban R2 menerima sebesar 1,2 kV! Diperlukan pengaturan tertentu dan perangkat bantu agar efisiensi daya ini dapat efektif diterapkan pada perangkat elektronik atau beban lainya yang tidak dapat menerima teangan yang (misalnya) setinggi 1,2 kV pada contoh.

Singkatnya kita memerlukan transformer.

screenshot_20160919-040012.jpgGambar 10.

screenshot_20160919-035758.jpgGambar 11.

screenshot_20160919-040153.jpgGambar 12.

Dari Gambar 12 bisa didapati jika pada sisi output (sisi sekunder) diperlukan tegangan keluaran listrik sebesar 12 V dengan arus sebesar 10 A mengaliri beban dan tegangan pada sisi input adalah sebesar 1200 V maka arus pada sisi input (sisi primer) adalah sebesar 0,1 A atau 100 mA. Dengan mengabaikan rugi daya pada transformer (transformator) maka daya di sisi input adalah sama dengan daya pada sisi output yaitu sebesar 120 W.

neon22Gambar 13. Simulasi arus pada sisi primer.

screenshot_20160919-014340.jpgGambar 14.

Gambar 14 ini menunjukkan perbandingan antara besar arus pada sisi primer ( 107,25 mA max ≅ 100 mA max ≅ 75,84 mA RMS) dengan besar arus pada sisi sekunder (10 A max ≅ 7,07 A RMS). Pada sisi sekunder transformer dianggap tidak ada impedansi lain selain beban. Sedangkan pada sisi primer disimulasikan ada impedansi kabel yang bernilai 10 Ohm. Nilai 100 mA RMS sebanding dengan nilai 0,14 A max (atau 140 mA max), sedangkan nilai 10 A RMS sebanding dengan 14,14 A max. Untuk penyetaraan nilai AC dengan nilai DC diperlukan nilai AC RMS. Jika diperkukan dapat dilakukan perhitungan manual atau dengan bantuan konversi seperti pada Gambar 15.

screenshot_20160919-05254701.jpg.jpgGambar 15.

screenshot_20160919-052405.jpgGambar 16.

Dari konversi pada Gambar 15, maka simulasi pada Gambar 14 dapat disesuaikan sehingga menjadi seperti Gambar 16. Selain perubahan besaran nilai, fenomenanya tetap sama yaitu semakin kecil nilai arus pada sisi primer maka semakin kecil energi yang terbuang pada saat menyalurkan energi listrik ke pengguna.

Gambar 14 (dan Gambar 16) bersesuaian dengan Gambar 5 dan Gambar 7, dengan perbedaan bahwa pada Gambar 14 sistem yang dipergunakan adalah AC sedangkan pada kedua gambar sebelumnya itu bersistem DC. Arus bolak balik diperlukan karena kita memerlukan transformer yang berdasar pada fenomena fisika berupa induktansi. Diperlukan perubahan nilai arus per satuan waktu agar transformer dapat bekerja dan gelombang sinus yang periodik agar transfer daya dapat dilakukan dengan lebih efisien.

Sejauh ini bisa dipahami bahwa salah satu cara untuk mengatasi rugi-rugi daya pada ransmisi energi listrik adalah dengan mengurangi besar nilai arus yang mengalir pada jalur transimisi. Tetapi pada saat yang sama agar daya pada sisi beban tidak turun, maka sebagai kompensasi, besar nilai tegangan sumber dinaikkan. Dalam perhitungan, semakin tinggi nilai tegangan sumber maka akan semakin kecil arus yang perlu mengalir. Tentu dalam penerapannya ada batas nilai tertinggi nilai tegangan pada transmisi yang bisa dipergunakan.

Jika pada bagian sebelumnya transformer dipergunakan untuk menurunkan nilai tegangan listrik dari, katakanlah, jalur transmisi ke beban sehingga didapatkan nilai tegangan yang sesuai maka transformer juga bisa dipakai untuk menaikkan nilai tegangan.

Gambar 17.

Gambar 18.

Gambar 19.

Hanya sekedar sebagai contoh saja, pada Gambar 19 nilai tegangan sumber sebesar 220 V RMS (tepatnya 311 V max). Disimulasikan bahwa jalur transmisi terletak di antara dua transformer, dan dimodelkan dengan sangat sederhana mengunakan sebuah resistor. Menggunakan konfigurasi ini rugi daya yang hilang pada jalur transmisi dapat dikurangi. Dari ketiga bagian rangkaian, bagian tengah yang diumpamakan sebagai bagian transmisi yang memiliki nilai arus yang paling kecil.

Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa sedari dulu industri kelistrikan lebih memilih mode AC karena alasan penghematan. Untuk mengurangi rugi-rugi daya pada jalur transmisi diperlukan arus listrik yang lebih kecil pada kabel transmisi. Kemudian agar tetap dapat menyalurkan daya yang minimal sama besarnya ke beban, maka tegangan pada sisi sumber harus dinaikkan berkali lipat. Ini dapat dijelaskan secara sederhana dengan menggunakan Hukum Ohm.Pada zaman itu menaikkan tegangan hanya dimungkinkan dilakukan secara efisien dengan mempergunakan transformer. Untuk dapat mempergunakan transformer, maka nilai besaran masukan harus berubah-ubah tiap satuan waktu. Singkatnya untuk itu diperlukan gelombang AC yang periodik, yaitu gelombang sinusoida (sine wave). Begitulah sejarahnya mengapa transmisi energi listrik menggunakan mode AC dengan nilai tegangan yang tinggi.

Di masa sekarang ini, besar nilai tegangan transmisi AC semakin tinggi antara lain untuk mengakomodasi kebutuhan untuk mentransmisikan energi dalam jumlah yang lebih besar. Jauh lebih besar dari era sebelumnya.

Setelah era pabrikasi massal komponen semikonduktor, transformer bukanlah satu-satunya elemen utama dalam jaringan transmisi listrik. Thyristor dan IGBT adalah contoh komponen semikonduktor yang dimanfaatkan untuk transmisi listrik tegangan tinggi (HVDC). Meski begitu sampai saat ini tegangan tinggi arus bolak balik (HVAC) masih mendominasi di banyak tempat di dunia, terutama untuk jaringan transmisi dan distribusi yang memang dibangun di masa lalu dan masih beroperasi hingga kini.

Gambar 20. [sumber : large.stanford.edu]

Perihal arus searah (DC) dan arus bolak-balik (AC) sudah pernah saya rangkum dalam tulisan ini >> link.

img_57e28cf3e393b

font cache:  Ψ α β π θ μ Φ φ ω Ω ° ~ ± ∝ ≅  ≈ ≠ ≡ ≤ ≥  ∞ ∫ ∴  • ∆

 

Save