Mengapa bahan kajian sejarah membuktikan bahwa penyedia/pengelola transmisi energi listrik lebih memilih untuk mempergunakan AC dan bukan DC? Mengapa HVDC baru dikembangkan kemudia di belakang hari? Mengapa transmisi listrik mempergunakan tegangan tinggi?
Ada cukup banyak sumber rujukan untuk menjawab pertanyaan seperti ini. Dalam tulisan ini, saya mulai dengan mempergunakan simulasi rangkaian dengan jaringan transmisi listrik yang disederhanakan. Penyederhanaan dengan memodelkan jaringan transmisi sebagai rangkaian listrik sederhana dengan sumber tegangan ideal dan komponen resistor ini sebatas untuk menunjukkan mengapa dahulu para engineer dan pebisnis memilih menggunakan mode transmisi AC daripada DC.
Persamaan yang diperlukan untuk memahami tentang sejarah penggunaan AC untuk transmisi enertgi listrik ini cukup sederhana.
Dari Hukum Ohm pada Gambar 1, didapati bahwa jika nilai resistansi tetap maka korelasi antara arus yang melintas dan tegangan listrik di antara kaki-kaki resistor adalah berbanding lurus. Jika nilai R sebagai perbandingan V dan I tetap maka semakin besar nilai I (yaitu arus) yang melewati resistor maka akan semakin besar nilai beda potensial (tegangan listrik) yang terukur di antara kedua kaki resistor. Begitu pun jika nilai tegangan terukur di antara kaki-kaki resistor semakin besar maka nilai arus yang melintas pun akan semakin besar (sekali lagi jika nilai R tetap).
Pada persamaan daya di Gambar 2 dapat dilihat korelasi antara daya, arus dan resistansi. Jika nilai resistansi tetap maka nilai daya (belanja atau penggunaan energi per satuan waktu) bergantung pada nilai arus. Semakin besar arus yang melintasi resistor maka semakin besar daya. Artinya semakin banyak energi yang diubah menjadi panas, yang untuk banyak pengaturan dapat dianggap sebagai energi yang terbuang. Dalam sistem kelistrikan, kadang disebut juga sebagai rugi-rugi daya. Jadi semakin kecil nilai arus yang melintas maka semakin kecil juga rugi daya pada resistor (yang bisa dipakai untuk perumpamaan impedansi media transmisi listrik yang lebih kompleks).
Dengan menghubungkan persamaan pada Gambar 2 dengan persamaan pada Gambar 1 dapat dilihat pula konsekuensi nilai variabel arus dan resistansi terhadap nilai tegangan. Semakin besar nilai tegangan di kaki-kaki resistor maka semakin besar pula arus yang melintasinya. Artinya semakin besar pula energi yang dipakai (atau terbuang) per satuan waktu. Dengan kata lain power (dayanya) semakin besar pada resistor yang dimaksud.
Untuk memulai dengan rangkaian yang sangat sederhana, lihat Gambar 3. Sistem dimodelkan dengan menggunakan dua resistor, R1 mewakili penyederhanaan kabel listrik dan R2 mewakili beban. Bentuk rangkaian dasar seperti ini mudah untuk dikenali, ini adalah rangkaian pembagi tegangan. Bedanya dengan penggunaan rangkaian pembagi tegangan yang lebih umum adalah pada rangkaian ini yang dititikberatkan pada R2 adalah nilai dayanya, bukan nilai resistansinya. Untuk menjaga kesederhanaan, nilai impedansi kabel yang diwakili oleh R1 dibuat tetap, yaitu sebesar 10 Ω. Sedangkan nilai impedansi beban yang diwakili oleh nilai resistansi R2 tidak tetap. Demikian pula nilai arus yang melintas dan tegangan pada kaki-kaki R2, tidak dijaga bernilai tetap. Yang dijaga tetap hanyalah besar daya, yaitu 120 Watt.
Gambar 3. [klik pada gambar untuk memperbesar tampilan]
Dengan penetapan nilai (daya) R2 sebesar 120 W, maka untuk memudahkan simulasi perlu ditetapkan nilai awal resistansinya. Untuk itu dipakai nilai R2 sebesar 1,2 Ohm. Dengan nilai sumber tegangan ideal (DC) sebesar 112 V maka nilai arus yang melintasi seluruh resistor adalah sebesar 10 A, seperti hasil simulasi pada Gambar 5.
Gambar 5. [klik pada gambar untuk memperbesar tampilan]
Dari hasil simulasi pada Gambar 5 bisa didapatkan nilai daya pada R2 sebesar 120 W (hasil dari perhitungan (102*1,2)). Hasil yang sama sebagaimana yang ditunjukkan oleh Gambar 6. Rugi daya pada R1 adalah 1000 W (hasil dari perhitungan (102*10)). Total daya oleh sumber bisa juga dicari dengan menghitung (10 * 112), yaitu 1120 Watt.
Gambar 7. [klik pada gambar untuk memperbesar tampilan]
Sekarang, jika besar nilai sumber tegangan ideal dinaikkan berkali lipat dari nilai asal, akan dapat dilihat pengaruhnya pada daya di R1 dan nilai total daya rangkaian. Untuk memudahkan katakanlah nilai tegangan diubah dari 112 V menjadi 1,2 kV (1200 V). Nilai R1 tetap dan nilai R2 diubah sehingga dengan pengaturan yang baru ini daya pada R2 tetap 120 W.
Dari hasil simulasi pada Gambar 7 dengan pembulatan bisa didapatkan nilai daya pada R2 tetap sebesar 120 W (hasil dari perhitungan ((10 mA)2*(12 kΩ))). Rugi daya pada R1 adalah 0,1 W atau 100 mW(hasil dari perhitungan ((100 mA)2*10)). Total daya oleh sumber bisa juga dicari dengan menghitung ((100 mA) * (1,2 kV)), yaitu 120 Watt.
Perhitungan dapat dilakukan secara manual di atas kertas, menggunakan kalkulator elektronik atau memanfaatkan telepon genggam pintar seperti pada Gambar 8.
Gambar 8. [klik pada gambar untuk memperbesar tampilan]
Dari hasil simulasi dan perhitungan bisa dibandingkan bagaimana dengan menaikkan nilai tegangan sumber (dan nilai R2) efisiensi daya dapat diperoleh. Daya pada R1 yang semula 1000 W menjadi 0,1 W. Lalu total daya yang semula 1120 Watt menjadi ≅120 Watt. Semuanya dengan tetap memberikan daya pada R2 sebesar 120 Watt.
Tantangan dan pertanyaannya kemudian adalah bagaimana dengan nilai tegangan listrik pada beban yang diwakili oleh R2 dalam simulasi ini? Jika sebelumnya beban tersebut “menerima” tegangan sebesar 12 V, pada pengaturan yang kedua beban R2 menerima sebesar 1,2 kV! Diperlukan pengaturan tertentu dan perangkat bantu agar efisiensi daya ini dapat efektif diterapkan pada perangkat elektronik atau beban lainya yang tidak dapat menerima teangan yang (misalnya) setinggi 1,2 kV pada contoh.
Singkatnya kita memerlukan transformer.
Dari Gambar 12 bisa didapati jika pada sisi output (sisi sekunder) diperlukan tegangan keluaran listrik sebesar 12 V dengan arus sebesar 10 A mengaliri beban dan tegangan pada sisi input adalah sebesar 1200 V maka arus pada sisi input (sisi primer) adalah sebesar 0,1 A atau 100 mA. Dengan mengabaikan rugi daya pada transformer (transformator) maka daya di sisi input adalah sama dengan daya pada sisi output yaitu sebesar 120 W.
Gambar 13. Simulasi arus pada sisi primer.
Gambar 14 ini menunjukkan perbandingan antara besar arus pada sisi primer ( 107,25 mA max ≅ 100 mA max ≅ 75,84 mA RMS) dengan besar arus pada sisi sekunder (10 A max ≅ 7,07 A RMS). Pada sisi sekunder transformer dianggap tidak ada impedansi lain selain beban. Sedangkan pada sisi primer disimulasikan ada impedansi kabel yang bernilai 10 Ohm. Nilai 100 mA RMS sebanding dengan nilai 0,14 A max (atau 140 mA max), sedangkan nilai 10 A RMS sebanding dengan 14,14 A max. Untuk penyetaraan nilai AC dengan nilai DC diperlukan nilai AC RMS. Jika diperkukan dapat dilakukan perhitungan manual atau dengan bantuan konversi seperti pada Gambar 15.
Dari konversi pada Gambar 15, maka simulasi pada Gambar 14 dapat disesuaikan sehingga menjadi seperti Gambar 16. Selain perubahan besaran nilai, fenomenanya tetap sama yaitu semakin kecil nilai arus pada sisi primer maka semakin kecil energi yang terbuang pada saat menyalurkan energi listrik ke pengguna.
Gambar 14 (dan Gambar 16) bersesuaian dengan Gambar 5 dan Gambar 7, dengan perbedaan bahwa pada Gambar 14 sistem yang dipergunakan adalah AC sedangkan pada kedua gambar sebelumnya itu bersistem DC. Arus bolak balik diperlukan karena kita memerlukan transformer yang berdasar pada fenomena fisika berupa induktansi. Diperlukan perubahan nilai arus per satuan waktu agar transformer dapat bekerja dan gelombang sinus yang periodik agar transfer daya dapat dilakukan dengan lebih efisien.
Sejauh ini bisa dipahami bahwa salah satu cara untuk mengatasi rugi-rugi daya pada ransmisi energi listrik adalah dengan mengurangi besar nilai arus yang mengalir pada jalur transimisi. Tetapi pada saat yang sama agar daya pada sisi beban tidak turun, maka sebagai kompensasi, besar nilai tegangan sumber dinaikkan. Dalam perhitungan, semakin tinggi nilai tegangan sumber maka akan semakin kecil arus yang perlu mengalir. Tentu dalam penerapannya ada batas nilai tertinggi nilai tegangan pada transmisi yang bisa dipergunakan.
Jika pada bagian sebelumnya transformer dipergunakan untuk menurunkan nilai tegangan listrik dari, katakanlah, jalur transmisi ke beban sehingga didapatkan nilai tegangan yang sesuai maka transformer juga bisa dipakai untuk menaikkan nilai tegangan.
Gambar 17.
Gambar 18.
Gambar 19.
Hanya sekedar sebagai contoh saja, pada Gambar 19 nilai tegangan sumber sebesar 220 V RMS (tepatnya 311 V max). Disimulasikan bahwa jalur transmisi terletak di antara dua transformer, dan dimodelkan dengan sangat sederhana mengunakan sebuah resistor. Menggunakan konfigurasi ini rugi daya yang hilang pada jalur transmisi dapat dikurangi. Dari ketiga bagian rangkaian, bagian tengah yang diumpamakan sebagai bagian transmisi yang memiliki nilai arus yang paling kecil.
Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa sedari dulu industri kelistrikan lebih memilih mode AC karena alasan penghematan. Untuk mengurangi rugi-rugi daya pada jalur transmisi diperlukan arus listrik yang lebih kecil pada kabel transmisi. Kemudian agar tetap dapat menyalurkan daya yang minimal sama besarnya ke beban, maka tegangan pada sisi sumber harus dinaikkan berkali lipat. Ini dapat dijelaskan secara sederhana dengan menggunakan Hukum Ohm.Pada zaman itu menaikkan tegangan hanya dimungkinkan dilakukan secara efisien dengan mempergunakan transformer. Untuk dapat mempergunakan transformer, maka nilai besaran masukan harus berubah-ubah tiap satuan waktu. Singkatnya untuk itu diperlukan gelombang AC yang periodik, yaitu gelombang sinusoida (sine wave). Begitulah sejarahnya mengapa transmisi energi listrik menggunakan mode AC dengan nilai tegangan yang tinggi.
Di masa sekarang ini, besar nilai tegangan transmisi AC semakin tinggi antara lain untuk mengakomodasi kebutuhan untuk mentransmisikan energi dalam jumlah yang lebih besar. Jauh lebih besar dari era sebelumnya.
Setelah era pabrikasi massal komponen semikonduktor, transformer bukanlah satu-satunya elemen utama dalam jaringan transmisi listrik. Thyristor dan IGBT adalah contoh komponen semikonduktor yang dimanfaatkan untuk transmisi listrik tegangan tinggi (HVDC). Meski begitu sampai saat ini tegangan tinggi arus bolak balik (HVAC) masih mendominasi di banyak tempat di dunia, terutama untuk jaringan transmisi dan distribusi yang memang dibangun di masa lalu dan masih beroperasi hingga kini.
Gambar 20. [sumber : large.stanford.edu]
Perihal arus searah (DC) dan arus bolak-balik (AC) sudah pernah saya rangkum dalam tulisan ini >> link.
font cache: Ψ α β π θ μ Φ φ ω Ω ° ~ ± ∝ ≅ ≈ ≠ ≡ ≤ ≥ ∞ ∫ ∴ • ∆
Kak, kalau boleh tahu pakai aplikasi apa saat mensimulasikan di android?
Di Android menggunakan EveryCircuit, yang juga bisa dipakai di browser Chrome di laptop/dekstop PC.