Praktik dimmer digital satu fase

[su_panel border=”3px solid #91c51e” radius=”10″]

Praktikum Triac satu fase mempergunakan sistem praktik yang berbeda dari sistem ElettronicaVeneta. Sistem Triac adalah sistem yang dibangun sendiri oleh beberapa mahasiswa terdahulu yang belajar di laboratorium elektronika daya. Sistem penyakelaran dengan Triac ini disimpan di dalam kotak mika bening seperti pada gambar berikut.

Gambar 1.

[/su_panel] [su_panel border=”3px solid #dd5894″ radius=”10″]

Untuk melatih HOTS, maka perlu dilakukan kegiatan yang mendekati pola PBL (project based learning) atau PBL (problem based learning). Meskipun tidak persis mengikuti keduanya, namun kegiatan praktik ini mengadopsi beberapa unsur dari kedua kerangka belajar itu agar dapat lebih mendekati harapan bahwa perguruan tinggi vokasi memiliki keunggulan dalam hal melatih mahasiswa berpikir, bila dibandingkan dengan tingkat SMK. Upaya ini tentu dengan tetap memperhatikan ‘kenyataan lapangan’ tentang titik awal mula para praktikan.

Berbeda dengan beberapa praktik lainnya, dalam praktik ini para praktikan diajak berpikir dan mulai melihat pola pertanyaan yang penting diajukan untuk dapat memperoleh pemahaman secara mandiri berdasarkan ilmu pengatahuan yang (bahkan sudah) baku. Justru dengan praktik yang sederhana ini diharapkan mahasiswa praktikan di level perguruan tinggi vokasi mampu mengembangan kemandirian berpikir mekipun masih dengan panduan dan pembatasan lingkup.

Beberapa pertanyaan yang bisa diajukan misalnya:

  1. Apakah perbedaan antara firing angle dengan conduction angle?
  2. Apakah ada hubungan antara pengaturan waktu tunda pemicuan/sudut pemicuan (firing angle) dengan bentuk signal yang tampak di oscilloscope?
  3. Apakah ada pengaruh nyata dari besar sudut pemicuan terhadap luas wilayah di bawah kurva di oscilloscope?
  4. Apakah nilai tegangan dari jala-jala PLN berpengaruh terhadap luas wilayah di bawah kurva yang ditampilkan di oscilloscope?
  5. Apakah ada hubungan antara tegangan listrik dari PLN dengan nilai yang terukur di DMM (digital multimeter)?
  6. Apakah perubahan sudut pemicuan menyebabkan perubahan nilai tegangan r.m.s. yang diukur pada beban?
  7. Apakah perubahan nilai firing angle menyebabkan perubahan derajat terang cahaya pada beban berupa lampu pijar?
  8. Apakah ada hubungan antara waktu penundaan pemicuan dengan hasil pengukuran pada lux meter?
  9. Apakah hasil pengukuran lux meter sama persis dengan hasil pengukuran pada aplikasi Science Journal?
  10. Jika terdapat perbedaan antara lux meter dengan Science Journal, apakah selisihnya tetap? Apakah perbandingannya tetap?
  11. …dan seterusnya…

Selain anda dapat menyusun sendiri pertanyaan-pertanyaan seperti pada contoh di atas, anda bisa juga menyusun pertanyaan-pertanyaan yang walaupun terkesan remeh dan ‘konyol’ tetapi bisa membantu pemahaman anda terhadap korelasi dan kausalitas. Hal ini penting karena korelasi dan kausalitas adalah dua hal penting di bidang sains, rekayasa, dan teknologi. Beberapa pertanyaan yang terkesan ‘lucu’ misalnya:

  1. Apakah hari dan bulan pelaksanaan praktikum berpengaruh pada hasil pengujian?
  2. Apakah apa warna pakaian teman di sebelah kanan anda berpengaruh pada nilai pengukuran?
  3. Apakah berdasarkan pengujian berulang kali, memang terbukti bahwa merk laptop yang dipergunakan menentukan hasil pengukuran?
  4. Berdasarkan pengalaman anda, apakah menurut anda jenis makanan yang anda makan tadi pagi akan menentukan besarnya nilai yang ditunjukkan oleh DMM?

 

Selain menyusun pertanyaan untuk memahami sudut pemicuan, besar nilai tegangan listrik,  dan pencahayaan, praktikan berkesempatan untuk menyusun pertanyaan mengenai penggunaan alat ukur multimeter. Bisa diperhatikan apa perbedaan antara DMM TrueRMS dengan DMM yang non TrueRMS, saat melakukan pengukuran nilai tegangan listrik pada beban yang aliran arus listriknya dikendalikan oleh Triac. Di lab, Fluke 179 adalah alat ukur yang merupakan TrueRMS. Sedangkan untuk Sanwa, tipe CD772 memang adalah tipe true rms tetapi tipe CD771 bukan merupakan tipe yang merupakan tipe berkemampuan true rms. Untuk praktik ini, memang sengaja mempergunakan Fluke 179 dan CD771.


 Gambar 2.

Di Gambar 2, posisi awal operasi saat sudut pemicuan maksimal (energi yang ‘disalurkan’ minimal). 


 Gambar 3.

Gambar 3, menunjukkan tampilan intensitas cahaya lampu pada saat posisi sudut pemicuan di pertengahan.

 


Gambar 4.

 Gambar 4 merupakan tampilan saat sudut pemicuan paling kecil. Energi yang diterima lampu adalah yang paling besar.


Gambar 5.

Untuk percobaan Triac, perangkat instrumen oscilloscope perlu dioperasikan pada mode cursor. Silakan di baca di halaman ini.

 

Gambar 6.

 

Gambar 7.

 


Gambar 8.

 

Gambar 9.

 

Gambar 10.

 

[/su_panel] [su_panel border=”3px solid #4ea1ff” radius=”10″]

Gambar 11.

 

Gambar 12.

 

Gambar 13.

 

 

Gambar 14.
 
 
 

 

[/su_panel] [su_panel border=”3px solid #FF6666″ radius=”10″]

 

 

Gambar 15.

 

 

 

Gambar 16.

 


Gambar 17.

 

 

Gambar 18.
 

 

 


Gambar 19.

 

 

 


Gambar 20.

 

 

[/su_panel] [su_panel border=”3px solid #0d6921″ radius=”10″]

 


Gambar 21.

 

 


Gambar 22.

 


Gambar 23.

 

 

[/su_panel] [su_panel border=”3px solid #ffe64e” radius=”10″] [intense_tabs direction=”right” active_tab_background_color=”#000000″ active_tab_font_color=”#ffff00″ trigger=”click”] [intense_tab title=”Video01″ border=”3px solid #e8e8e8″ link_target=”_self” content_background_color=”#000000″ content_font_color=”#ffffff” icon_size=”1″ icon_position=”left”]

[/intense_tab] [/intense_tabs] [/su_panel] [su_panel border=”3px solid #990066″ radius=”10″] [/su_panel]

 

 

Penggunaan modul pengendali untuk praktik SCR

[su_panel border=”3px solid #30e33c” radius=”10″]

Pengaturan parameter operasi pada modul praktikum di Laboratorium Elektronika Daya 2 (Power Electronics Laboratory) agak berbeda dengan praktikum pada semester sebelumnya. Jika pada waktu lalu pengaturan tidak dilakukan pada modul pengendali, itu disebabkan karena praktikum mempergunakan diode sebagai komponen aktif utama. Pada rangkaian penyearah yang mempergunakan diode, sudut pemicuan tidak dapat diatur. Diode akan otomatis menghantar pada saat syarat batas tegangan maju dipenuhi.

[/su_panel] [su_panel border=”3px solid #30C0F0″ radius=”10″]

Tampilan LCD pada kotak pengendali M1R seperti yang terlihat pada Gambar 1 agak berbeda bila dibandingkan dengan tampilan di LCD pada praktikum Lab Elda 1 semester sebelumnya. Misalnya pada Job 1, praktikan dapat mengatur besarnya sudut pemicuan (firing angle) yang di kotak M1R ini disebut sebagai spark.

Sebagaimana layaknya ATM atau oscilloscope digital GW INSTEK GDS-2104A, pengaturan operasi dilakukan dengan tombol/rotary encoder yang berada di samping atau di bawah tampilan. Misalnya di Gambar 1, pengaturan hidup mati penyakelaran pada kotak diatur dengan menekan tombol bundar di samping kanan indikator, ON+ atau OFF- . Sudut pemicuan (firing angle bukan conduction angle) diatur dengan mempergunakan rotary encoder di bawah indikator besar sudut (di Gambar 1 bernilai 180°).

Gambar 1.

Pada Gambar 1 terlihat bahwa kondisi sistem berada dalam posisi OFF. Untuk praktikum SCR dan Triac, pastikan di awal saat sistem OFF sudut pemicuan berada pada posisi sudut 180°. Dengan cara ini diharapkan penyakelaran berada pada saat energi di sistem yang disakelar berada pada posisi paling rendah. Setelah pengaturan sudut selesai, hidupkan penyakelaran seperti yang terlihat di Gambar 2.

Gambar 2. SCR:ON

 

Gambar 3.

Ikuti petunjuk praktikum/isian di tabel yang anda telah terima. Selesaikan proses praktikum secara benar.

Gambar 4.

Gambar 5. Firing angle 

Setelah sampai pada pengukuran di sudut 0° seperti di Gambar 4, maka langkah berikutnya adalah mengembalikan sudut pemicuan ke 180° sebelum mematikan penyakelaran sistem. Kembali seperi di Gambar 1.

Untuk mematikan sistem secara keseluruhan, lakukan langkah urut mundur seperti yang sudah disampaikan pada pengarahan.

[/su_panel] [su_panel border=”3px solid #990066″ radius=”10″] [/su_panel]

Save

Penggunaan kursor untuk praktik Triac

[su_panel border=”3px solid #bf80ff” radius=”10″]

Pengaturan oscilloscope untuk dapat melaksanakan praktikum.

Penggunaan kursor di oscilloscope diperlukan di Laboratorium Elektronika Daya untuk beberapa kegiatan praktikum. Salah satunya adalah untuk penggunaan di praktik sistem penyakelaran beban AC dengan Triac. Berikut ada cara pengaturan oscilloscope untuk keperluan tersebut. Silakan dibaca, diulangi, dan dipahami sebelum mencoba di ruang lab.
[/su_panel] [su_panel border=”3px solid #30C0F0″ radius=”10″]

Tahap pengaturan awal yang penting di instrumen GW INSTEK GDS-2104A untuk percobaan pengendalian beban dengan Triac adalah pengaturan pemicuan. Perhatikan tipe pemicuan (trigger) dan pastikan sudah benar sesuai untuk percobaan ini, yaitu dengan sumber (source) AC Line. Lihat urut-urutan seri Gambar 01 berikut ini:

Gambar 01.a. Tampilan awal oscilloscope.

 

Gambar 01.b.

Di Gambar 01.b. dapat dilihat sumber pemicuan adalah CH1, ini perlu disesuaikan dengan cara diganti. Perhatikan Gambar 01.c di bawah ini. Jika lupa bagimana memunculkan mode triggering silakan mengacu di Gambar 9 di halaman ini. Tekan tombol Menu di kolom trigger.

Gambar 01.c.

 

Gambar 01.d.

Gambar 01.d. menunjukkan tampilan saat kanal 1 (CH1) diaktifkan. Terlihat mode coupling untuk kanal juga sudah berada di posisi yang benar, yaitu di mode DC. Dengan demikian maka sinyal AC dan DC akan dilewatkan masuk untuk diukur dan ditampilkan oleh oscilloscope. Hanya saja posisi vertikal kanal 1 tidak berada pasa posisi sentral, tidak di level 0 volt, melainkan masih di level -200.000 mV. 

Gambar 01.e.

Di Gambar 01.e. posisi tampilan sinyal untuk kanal 1 sudah berada di titik tengah tampilan, yaitu 0.000 volt.

Gambar 01.f.

Di Gambar 01.f. terlihat gelombang sinus dari  tegangan listrik PLN yang sudah diturunkan. Posisi pemicuan sudah sesuai di mode AC Line (tidak terlihat di gambar).

Gambar 01.g. Sumber pemicuan.

Di Gambar 01.g. dapat dilihat bahwa sumber pemicuan sudah di posisi pilihan AC Line. Apa pun variasi bentuk sinyal sinusoida dari tegangan PLN, pengaturan pemicuan masih tetap berada di AC Line.

[/su_panel] [su_panel border=”3px solid #30C0F0″ radius=”10″]

 

Gambar 02. Gelombang sinusioda

Di Gambar 02, diperlihatkan tampilan awal tanpa adanya penggunaan kursor (cursor).

Gambar 03. Memunculkan cursor.

Untuk dapat memuncuklan kursor (garis vertikal) silakan menekan tombol mode cursor satu kali. Ingat, hanya satu kali saja. Jika belum mengetahui letak persis tombonya silakan mengacu di Gambar 9 di halaman ini. di tahap ini tidak penting bagaimana posisi/jarak antar kursor di awal, yang penting pengaturan kursor sudah bisa ditampilkan.

Gambar 04. 

Di Gambar 04 terlihat bagaimana kursor 1 digeser ke arah kiri hingga berada di posisi crossing seperti di gambar. Pastikan bahwa posisi tampilan gelombang pada kanal 1 (Ch1) berada di posisi 0 V. Tekan tombol Ch1 untuk memasuki mode pengaturan kanal 1, lalu lihat apakah posisi tampilan sinyal sudah berada pada posisi 0 V.

Untuk dapat menggeser kursor, gunakan knob Variable (lihat Gambar 9 di halaman ini), putarlah ke arah kiri atau ke arah kanan. Jika tidak ada kursor yang bergeser padahal anda sudah melakukan pemutaran knob, maka kemungkinan anda sudah pernah berpindah ke pengaturan lain. Solusinya, anda kemungkinan perlu untuk menekan kembali tombol Cursor sebelum kembali mencoba mengubah posisi kursor dengan cara memutar knob Variable.

Gambar 05. 

Gambar 05 menunjukkan bagaimana kursor yang paling kiri (kursor 1) dikunci di posisinya. Sehingga dalam mode ini hanya kursor 2 yang dapat digeser (diubah posisinya). Cara untuk melakukan penguncian posisi kursor ini adalah dengan menekan tombol di bawah indikator “H Cursor”. Untuk mengunci posisi kursor 1, cukup tekan satu kali saja.

Gambar 06. 

Di Gambar 06 terlihat bahwa posisi kursor 2 digeser ke arah kanan sehingga berada tepat di akhir satu periode gelombang sinus dari tegangan PLN. Untuk contoh ini, dikarenakan frekuensi dari tegangan sinus PLN tepat sebesar 50 Hz, maka periodenya pun tepat sebesar 20 mS. Terdapat tampilan  Δ 20.0mS di bagian kiri atas tampilan oscilloscope, yang menunjukkan selisih (jarak) antara dua kursor dalam mS.

Cara di Gambar 05 dan Gambar 06 adalah salah satu cara untuk dapat mengukur satu periode sinyal sinus. Cara lain adalah dengan langsung mengatur agar kursor 2 dan kursor 1 dipisahkan dengan tentang waktu 20 mS. Cara ini tidak perlu (memperhatikan) sinyal input yang hendak diukur. Cara ini umumnya dapat dilakukan dengan agak sedikit lebih cepat. Tetapi anda nantinya masih perlu memperhatikan posisi crossing yang sesungguhnya dari sinyal PLN yang anda ukur. Hasilnya tidak selalu tepat 20 mS, bisa lebih atau bisa kurang.

Gambar 07. 

Anda bisa melakukan penyesuaian posisi lebih lanjut seperti di Gambar 07. Misalnya anda perlu menggeser agar posisi titik crossing sinyal berada tepat di titik vertikal 0 volt. Kedua kursor bergerak bersamaan dengan jarak yang tetap antar keduanya.

Gambar 08. 

Jika di Gambar 07 pengukuran dilakukan untuk menunjukkan rentang jarak dalam waktu (detik/seconds/milli-seconds) maka di Gambar 08 ditunjukkan bahwa jarak antar kedua kursor juga bisa ditampilkan dalam Hz (frekuensi). Tekan satu kali di tombol di bawah display H Unit untuk dapat menggeser tampilan dari mode S ke Hz.

Gambar 09. 

 Di Gambar 09, tampilan diubah ke mode %, sedangkan posisi kursor masih tetap di posisinya semula (tidak diubah). Di bagian kiri atas tampilan tedapat keterangan Δ 99.7%. Padahal seharusnya kita memerlukan nilai 100% untuk jarak antara kedua kursor ini. Maka penanda tersebut bisa disesuaikan dengan menekan tombol di bawah indikator “Set Cursor Positions As 100%“. Sebagai catatan, kita bisa memilih jarak/posisi kursor mana saja untuk jarak yang dianggap 100%. Tetapi ‘kebetulan’ untuk percobaan ini yang dianggap sebagai posisi 100% adalah jarak dengan rentang 20 m dari posisi kursor 2 ke kursor 1. Tampilan setelah disesuaikan akan seperti di Gambar 10, dengan tampilan indikator sebesar  Δ 100%.


Gambar 10. 

 

Gambar 11. 

Di Gambar 11, terlihat bahwa pengukuran dilakukan dalam mode derajat (°).  Sebagaimana diketahui untuk sebuah gelombang sinusioda, satu periode adalah 360°. Sedangkan di tampilan masih sebesar Δ 359°. Untuk memperbaikinya tekan tombol di bawah tulisan “Set Cursor Positions As 360°“. Hasilnya akan seperti di Gambar 12.

Gambar 12. 

Gambar 13. 

Setelah pengaturan untuk posisi awal sebagai acuan (kursor 1 sebagai 0 mS/0°) dan posisi akhir kursor 2 ( 20 mS/360°) ditetapkan, maka berikutnya anda dapat melakukan pengaturan berikutnya untuk dapat mengukur sudut pemicuan. Misalnya di Gambar 14 adalah contoh di mana posisi kursor 2 digeser ke arah kiri dan ditempatkan di posisi 180°, yang juga merupakan posisi setangah gelombang sinus.

Gambar 14. 

Gambar 15. 

Gambar 15 menunjukkan posisi kursor 2 di 90° dari kursor 1, ditunjukkan dengan indikator Δ 90°. Posisi yang sama juga merupakan posisi 5 mS dari kursor 1 ( Δ 5.00ms), yang ditampilkan di Gambar 16.

Gambar 16. 

Gambar 17. 

Gambar 17 menunjukkan posisi kursor yang sama dengan Gambar 15 dan Gambar 16.

 

Gambar 18.

Gambar 18 adalah tampilan dari gelombang tegangan salah satu dimmer dengan bentuk gelombang sinus yang tidak ideal. Prinsip penggunaan kursor yang telah dipelajari sebelumnya masih tetap berlaku sama.

Gambar 19. Satu periode, 360°.

 

Gambar 20. 

Gambar 20 menunjukkan hasil sudut pemicuan di sekitar 90°, tepatnya 93,6°. Kursor 1 di sebelah kiri tidak diubah posisinya, dikunci di tempatnya dan dipergunakan sebagai acuan pengukuran sudut pemicuan dengan kursor 2.

Gambar 21. 

Di Gambar 21, nilai 93,6° itu sebanding dengan penundaan sebesar Δ 5,20 mS.

[/su_panel] [su_panel border=”3px solid #FF6666″ radius=”10″]

Di pengaturan kursor untuk oscilloscope ini terdapat dua mode. Yang pertama adalah kursor vertikal seperti pada langkah-langkah pada kotak sebelum kotak ini. Yang kedua adalah mode dengan kursor vertikal. Gambar 22 menunjukkan mode kursor yang pertama, sama seperti pengerjaan sebelumnya.

Gambar 22. 

Mode yang kedua adalah kursor dengan garis vertikal dan horizontal. Seperti yang terlihat di Gambar 23 berikut ini. Cara untuk mengaksesnya adalah dengan menekan sekali lagi pada tombol Cursor (sehingga total penekanan ada dua kali). Untuk menghilangkan kursor, keluar dari mode kursor, maka tekan tombol sekali lagi (total ada tiga kali penekanan). Sehingga jika seandainya anda tidak sengaja menekan tombol Cursor sehingga masuk pada mode kedua, anda bisa memperbaikinya dengan cara menekan tombol itu lagi.

Gambar 23. 

 

[/su_panel] [su_panel border=”3px solid #00C700″ radius=”10″] [intense_tabs direction=”right” active_tab_background_color=”#000000″ active_tab_font_color=”#ffff00″ trigger=”click”] [intense_tab title=”Video01″ border=”3px solid #e8e8e8″ link_target=”_self” content_background_color=”#000000″ content_font_color=”#ffffff” icon_size=”1″ icon_position=”left”]

[/intense_tab] [/intense_tabs] [/su_panel] [su_panel border=”3px solid #990066″ radius=”10″]
Sumber belajar:
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
[/su_panel]

 

Save

Perhitungan nilai gelombang AC dengan nilai offset

Nilai rata-rata (average) dan efektif (RMS) untuk gelombang sinus (sinusoid) telah dibahas pada post yang lalu. Pada post itu diasumsikan nilai offset sebesar nol (zero), yang artinya tidak memiliki offset. Pada post ini dipaparkan contoh simulasi dan perhitungan untuk gelombang sinus yang memiliki nilai offset.

Gambar 1.

Gambar 2.

Pada Gambar 1 dan Gambar 2 dapat dilihat pengaturan sumber tegangan dengan frekuensi 50 Hz, nilai tegangan puncak AC (AC peak) sebesar 9 Volt dan nilai tegangan offset DC sebesar 12 Volt. Dari Gambar 1 bisa dilihat bahwa nilai tegangan selalu positif dan tidak pernah mengecil (turun) mendekati nilai nol (0 Volt).

Gambar 3.

screenshot_20161003-135424.jpgGambar 4. Perhitungan nilai tegangan RMS (AC+DC) dengan Algeo.

 

Di Gambar 4 dapat dilihat bahwa nilai yang dipakai dapat berupa nilai tegangan “RMS dari gelombang sinus AC tanpa DC offset” yang dikuadratkan atau dapat menggunakan separuh dari nilai tegangan puncak yang telah dikuadratkan. Hasil dari perhitungan yang dilakukan akan sama.

 

Gambar 5. Simulasi gelombang sinus dengan offset, puncak nilai positif dan negatif.

Pada Gambar 5, karena nilai amplitudo lebih besar dari nilai tegangan DC offset maka gelombang sinus melewati nilai nol dan memasuki wilayah negatif. Bisa dicoba untuk dibuktikan sendiri bahwa cara perhitungan masih tetap sama.

Sumber di Internet mengenai hal ini dan bisa dicari dengan variasi kata-kata kunci sine wave with DC offset.


update:

Untuk mencegah kemungkinan adanya kebingungan, secara teknis artikel ini lebih tepat ditulis sebagai “gelombang sinus dengan DC offset“. Sebab terdapat contoh di mana gelombang sinus hanya berada dalam satu kuadran, kebetulan yang dipilih yaitu kuadran positif. Sehingga, karena hanya berada di satu kuadran saja (satu polaritas) maka secara resmi gelombang itu adalah gelombang searah/DC.

Tetapi cara perhitungan ini juga berlaku untuk gelombang sinus AC dengan offset, seperti di Gambar 5. Selain itu, dalam pengukuran kadang-kadang akan ditemui penyebutan seperti di gambar berikut ini.

Gambar 6.

 


 

 

Simulasi sederhana transmisi tegangan listrik AC

Mengapa bahan kajian sejarah membuktikan bahwa penyedia/pengelola transmisi energi listrik lebih memilih untuk mempergunakan AC dan bukan DC? Mengapa HVDC baru dikembangkan kemudia di belakang hari? Mengapa transmisi listrik mempergunakan tegangan tinggi?

Ada cukup banyak sumber rujukan untuk menjawab pertanyaan seperti ini. Dalam tulisan ini, saya mulai dengan mempergunakan simulasi rangkaian dengan jaringan transmisi listrik yang disederhanakan. Penyederhanaan dengan memodelkan jaringan transmisi sebagai rangkaian listrik sederhana dengan sumber tegangan ideal dan komponen resistor ini sebatas untuk menunjukkan mengapa dahulu para engineer dan pebisnis memilih menggunakan mode transmisi AC daripada DC.

Persamaan yang diperlukan untuk memahami tentang sejarah penggunaan AC untuk transmisi enertgi listrik ini cukup sederhana.

screenshot_20160919-02353901.jpg.jpgGambar 1. Hukum Ohm

Dari Hukum Ohm pada Gambar 1, didapati bahwa jika nilai resistansi tetap maka korelasi antara arus yang melintas dan tegangan listrik di antara kaki-kaki resistor adalah berbanding lurus. Jika nilai R sebagai perbandingan V dan I tetap maka semakin besar nilai I (yaitu arus) yang melewati resistor maka akan semakin besar nilai beda potensial (tegangan listrik) yang terukur di antara kedua kaki resistor. Begitu pun jika nilai tegangan terukur di antara kaki-kaki resistor semakin besar maka nilai arus yang melintas pun akan semakin besar (sekali lagi jika nilai R tetap).

screenshot_20160919-0235550101.jpg.jpgGambar 2. Persamaan daya.

Pada persamaan daya di Gambar 2 dapat dilihat korelasi antara daya, arus dan resistansi. Jika nilai resistansi tetap maka nilai daya (belanja atau penggunaan energi per satuan waktu) bergantung pada nilai arus. Semakin besar arus yang melintasi resistor maka semakin besar daya. Artinya semakin banyak energi yang diubah menjadi panas, yang untuk banyak pengaturan dapat dianggap sebagai energi yang terbuang. Dalam sistem kelistrikan, kadang disebut juga sebagai rugi-rugi daya. Jadi semakin kecil nilai arus yang melintas maka semakin kecil juga rugi daya pada resistor (yang bisa dipakai untuk perumpamaan impedansi media transmisi listrik yang lebih kompleks).

Dengan menghubungkan persamaan pada Gambar 2 dengan persamaan pada Gambar 1 dapat dilihat pula konsekuensi nilai variabel arus dan resistansi terhadap nilai tegangan. Semakin besar nilai tegangan di kaki-kaki resistor maka semakin besar pula arus yang melintasinya. Artinya semakin besar pula energi yang dipakai (atau terbuang) per satuan waktu. Dengan kata lain power (dayanya) semakin besar pada resistor yang dimaksud.

Untuk memulai dengan rangkaian yang sangat sederhana, lihat Gambar 3. Sistem dimodelkan dengan menggunakan dua resistor, R1 mewakili penyederhanaan kabel listrik dan R2 mewakili beban. Bentuk rangkaian dasar seperti ini mudah untuk dikenali, ini adalah rangkaian pembagi tegangan. Bedanya dengan penggunaan rangkaian pembagi tegangan yang lebih umum adalah pada rangkaian ini yang dititikberatkan pada R2 adalah nilai dayanya, bukan nilai resistansinya. Untuk menjaga kesederhanaan, nilai impedansi kabel yang diwakili oleh R1 dibuat tetap, yaitu sebesar 10 Ω. Sedangkan nilai impedansi beban yang diwakili oleh nilai resistansi R2 tidak tetap. Demikian pula nilai arus yang melintas dan tegangan pada kaki-kaki R2, tidak dijaga bernilai tetap. Yang dijaga tetap hanyalah besar daya, yaitu 120 Watt.

screenshot_20160919-010704.jpgGambar 3. [klik pada gambar untuk memperbesar tampilan]

wp-1474218345605.pngGambar 4.

Dengan penetapan nilai (daya) R2 sebesar 120 W, maka untuk memudahkan simulasi perlu ditetapkan nilai awal resistansinya. Untuk itu dipakai nilai R2 sebesar 1,2 Ohm. Dengan nilai sumber tegangan ideal (DC) sebesar 112 V maka nilai arus yang melintasi seluruh resistor adalah sebesar 10 A, seperti hasil simulasi pada Gambar 5.

wp-1474218620824.pngGambar 5. [klik pada gambar untuk memperbesar tampilan]

Dari hasil simulasi pada Gambar 5 bisa didapatkan nilai daya pada R2 sebesar 120 W (hasil dari perhitungan (102*1,2)). Hasil yang sama sebagaimana yang ditunjukkan oleh Gambar 6. Rugi daya pada R1 adalah 1000 W (hasil dari perhitungan (102*10)). Total daya oleh sumber bisa juga dicari dengan menghitung (10 * 112), yaitu 1120 Watt.

screenshot_20160919-01160301.jpg.jpgGambar 6.

wp-1474218681685.pngGambar 7. [klik pada gambar untuk memperbesar tampilan]

Sekarang, jika besar nilai sumber tegangan ideal dinaikkan berkali lipat dari nilai asal, akan dapat dilihat pengaruhnya pada daya di R1 dan nilai total daya rangkaian. Untuk memudahkan katakanlah nilai tegangan diubah dari 112 V menjadi 1,2 kV (1200 V). Nilai R1 tetap dan nilai R2 diubah sehingga dengan pengaturan yang baru ini daya pada R2 tetap 120 W.

Dari hasil simulasi pada Gambar 7 dengan pembulatan bisa didapatkan nilai daya pada R2 tetap sebesar 120 W (hasil dari perhitungan ((10 mA)2*(12 kΩ))). Rugi daya pada R1 adalah 0,1 W atau 100 mW(hasil dari perhitungan ((100 mA)2*10)). Total daya oleh sumber bisa juga dicari dengan menghitung ((100 mA) * (1,2 kV)), yaitu 120 Watt.

Perhitungan dapat dilakukan secara manual di atas kertas, menggunakan kalkulator elektronik atau memanfaatkan telepon genggam pintar seperti pada Gambar 8.

p_20160919_01140101.jpg.jpgGambar 8. [klik pada gambar untuk memperbesar tampilan]

screenshot_20160919-02403801.jpg.jpgGambar 9.

Dari hasil simulasi dan perhitungan bisa dibandingkan bagaimana dengan menaikkan nilai tegangan sumber (dan nilai R2) efisiensi daya dapat diperoleh. Daya pada R1 yang semula 1000 W menjadi 0,1 W. Lalu total daya yang semula 1120 Watt menjadi ≅120 Watt. Semuanya dengan tetap memberikan daya pada R2 sebesar 120 Watt.

Tantangan dan pertanyaannya kemudian adalah bagaimana dengan nilai tegangan listrik pada beban yang diwakili oleh R2 dalam simulasi ini? Jika sebelumnya beban tersebut “menerima” tegangan sebesar 12 V, pada pengaturan yang kedua beban R2 menerima sebesar 1,2 kV! Diperlukan pengaturan tertentu dan perangkat bantu agar efisiensi daya ini dapat efektif diterapkan pada perangkat elektronik atau beban lainya yang tidak dapat menerima teangan yang (misalnya) setinggi 1,2 kV pada contoh.

Singkatnya kita memerlukan transformer.

screenshot_20160919-040012.jpgGambar 10.

screenshot_20160919-035758.jpgGambar 11.

screenshot_20160919-040153.jpgGambar 12.

Dari Gambar 12 bisa didapati jika pada sisi output (sisi sekunder) diperlukan tegangan keluaran listrik sebesar 12 V dengan arus sebesar 10 A mengaliri beban dan tegangan pada sisi input adalah sebesar 1200 V maka arus pada sisi input (sisi primer) adalah sebesar 0,1 A atau 100 mA. Dengan mengabaikan rugi daya pada transformer (transformator) maka daya di sisi input adalah sama dengan daya pada sisi output yaitu sebesar 120 W.

neon22Gambar 13. Simulasi arus pada sisi primer.

screenshot_20160919-014340.jpgGambar 14.

Gambar 14 ini menunjukkan perbandingan antara besar arus pada sisi primer ( 107,25 mA max ≅ 100 mA max ≅ 75,84 mA RMS) dengan besar arus pada sisi sekunder (10 A max ≅ 7,07 A RMS). Pada sisi sekunder transformer dianggap tidak ada impedansi lain selain beban. Sedangkan pada sisi primer disimulasikan ada impedansi kabel yang bernilai 10 Ohm. Nilai 100 mA RMS sebanding dengan nilai 0,14 A max (atau 140 mA max), sedangkan nilai 10 A RMS sebanding dengan 14,14 A max. Untuk penyetaraan nilai AC dengan nilai DC diperlukan nilai AC RMS. Jika diperkukan dapat dilakukan perhitungan manual atau dengan bantuan konversi seperti pada Gambar 15.

screenshot_20160919-05254701.jpg.jpgGambar 15.

screenshot_20160919-052405.jpgGambar 16.

Dari konversi pada Gambar 15, maka simulasi pada Gambar 14 dapat disesuaikan sehingga menjadi seperti Gambar 16. Selain perubahan besaran nilai, fenomenanya tetap sama yaitu semakin kecil nilai arus pada sisi primer maka semakin kecil energi yang terbuang pada saat menyalurkan energi listrik ke pengguna.

Gambar 14 (dan Gambar 16) bersesuaian dengan Gambar 5 dan Gambar 7, dengan perbedaan bahwa pada Gambar 14 sistem yang dipergunakan adalah AC sedangkan pada kedua gambar sebelumnya itu bersistem DC. Arus bolak balik diperlukan karena kita memerlukan transformer yang berdasar pada fenomena fisika berupa induktansi. Diperlukan perubahan nilai arus per satuan waktu agar transformer dapat bekerja dan gelombang sinus yang periodik agar transfer daya dapat dilakukan dengan lebih efisien.

Sejauh ini bisa dipahami bahwa salah satu cara untuk mengatasi rugi-rugi daya pada ransmisi energi listrik adalah dengan mengurangi besar nilai arus yang mengalir pada jalur transimisi. Tetapi pada saat yang sama agar daya pada sisi beban tidak turun, maka sebagai kompensasi, besar nilai tegangan sumber dinaikkan. Dalam perhitungan, semakin tinggi nilai tegangan sumber maka akan semakin kecil arus yang perlu mengalir. Tentu dalam penerapannya ada batas nilai tertinggi nilai tegangan pada transmisi yang bisa dipergunakan.

Jika pada bagian sebelumnya transformer dipergunakan untuk menurunkan nilai tegangan listrik dari, katakanlah, jalur transmisi ke beban sehingga didapatkan nilai tegangan yang sesuai maka transformer juga bisa dipakai untuk menaikkan nilai tegangan.

Gambar 17.

Gambar 18.

Gambar 19.

Hanya sekedar sebagai contoh saja, pada Gambar 19 nilai tegangan sumber sebesar 220 V RMS (tepatnya 311 V max). Disimulasikan bahwa jalur transmisi terletak di antara dua transformer, dan dimodelkan dengan sangat sederhana mengunakan sebuah resistor. Menggunakan konfigurasi ini rugi daya yang hilang pada jalur transmisi dapat dikurangi. Dari ketiga bagian rangkaian, bagian tengah yang diumpamakan sebagai bagian transmisi yang memiliki nilai arus yang paling kecil.

Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa sedari dulu industri kelistrikan lebih memilih mode AC karena alasan penghematan. Untuk mengurangi rugi-rugi daya pada jalur transmisi diperlukan arus listrik yang lebih kecil pada kabel transmisi. Kemudian agar tetap dapat menyalurkan daya yang minimal sama besarnya ke beban, maka tegangan pada sisi sumber harus dinaikkan berkali lipat. Ini dapat dijelaskan secara sederhana dengan menggunakan Hukum Ohm.Pada zaman itu menaikkan tegangan hanya dimungkinkan dilakukan secara efisien dengan mempergunakan transformer. Untuk dapat mempergunakan transformer, maka nilai besaran masukan harus berubah-ubah tiap satuan waktu. Singkatnya untuk itu diperlukan gelombang AC yang periodik, yaitu gelombang sinusoida (sine wave). Begitulah sejarahnya mengapa transmisi energi listrik menggunakan mode AC dengan nilai tegangan yang tinggi.

Di masa sekarang ini, besar nilai tegangan transmisi AC semakin tinggi antara lain untuk mengakomodasi kebutuhan untuk mentransmisikan energi dalam jumlah yang lebih besar. Jauh lebih besar dari era sebelumnya.

Setelah era pabrikasi massal komponen semikonduktor, transformer bukanlah satu-satunya elemen utama dalam jaringan transmisi listrik. Thyristor dan IGBT adalah contoh komponen semikonduktor yang dimanfaatkan untuk transmisi listrik tegangan tinggi (HVDC). Meski begitu sampai saat ini tegangan tinggi arus bolak balik (HVAC) masih mendominasi di banyak tempat di dunia, terutama untuk jaringan transmisi dan distribusi yang memang dibangun di masa lalu dan masih beroperasi hingga kini.

Gambar 20. [sumber : large.stanford.edu]

Perihal arus searah (DC) dan arus bolak-balik (AC) sudah pernah saya rangkum dalam tulisan ini >> link.

img_57e28cf3e393b

font cache:  Ψ α β π θ μ Φ φ ω Ω ° ~ ± ∝ ≅  ≈ ≠ ≡ ≤ ≥  ∞ ∫ ∴  • ∆

 

Save