PWM, average & rms

Motivasi

Pada artikel sebelumnya, telah dikumpulkan alur belajar tentang frekuensi, periode, duty cycle, dan PWM. Di artikel itu diharapkan sudah dapat terselesaikan permasalahan tentang pengukuran dan pengaturan waktu pada sinyal PWM.

Di instrumen oscilloscope hasil pengukuran rentang waktu yang berlalu ditampilkan pada sumbu horizontal. Pengaturan tampilan dilakukan dengan manipulasi pada knob time/div.

Langkah berikutnya adalah menentukan besar nilai sinyal. Bisa berupa nilai arus atau yang lebih sering adalah nilai tegangan. Di oscilloscope besar sinyal diukur pada sumbu vertikal. Pengaturan tampilan dilakukan dengan memanipulasi knob volt/div.

Dapatkah anda menghitung dan memahami nilai pengukuran dari simulasi pada Tina-TI di Gambar 1?


Gambar 1. [ Klik gambar untuk memperbesar tampilan ]

 Rectangular, Square, Pulse train 

Pengukuran besar sinyal tidak hanya memerlukan pengetahuan tentang besar nilai (absolut), tetapi juga memerlukan pengetahuan tentang bentuk gelombang dan polaritas.

Ada beberapa istilah yang bisa menimbulkan kebingungan, misalnya:

Rectangular wave, square wave, unidirectional waveforms, bidirectional waveforms, alernating waveforms, pulse, pulse train.

Penyebutan nama gelombang biasanya juga berdasar pada tipenya secara matematis.

Image result for Square and Rectangle difference.wiki"

Gambar di atas ini mungkin akan dapat cepat mengingatkan kita akan perbedaan keduanya.

Kata rectangle dapat ditermahkan menjadi segi empat atau (yang lebih tepat) persegi panjang. Berikut ini ilustrasi yang diambil dari Wikipedia:

Rectangle Geometry Vector.svg

Sedangkan segi empat yang sama sisi disebut sebagai square. Biasa diterjemahkan sebagai persegi atau (yang lebih umum) bujur sangkar. Berikut adalah gambar dari Urban Dictionary:

Image result for

Sudahkah menjadi jelas perbedaan antara square dengan rectangle? Jika belum, lihatlah gambar yang diperoleh dari Quora berikut ini:

Dalam bahasa Indonesia, kadang-kadang beberapa penyebutan berbeda mengacu pada geometri yang sama.

Silakan baca artikel menarik dengan penjelasan rinci dari mikirbae yang salah satu gambarnya saya kutip sebagai berikut:

aneka bangun datar

Juga penjelasan dan contoh soal dari situs “ukuran dan satuan“:

Istilah atau kata kotak sendiri memiliki konsekuensi adanya volume. Tetapi kata ini sering dipergunakan untuk menggambarkan sesuatu yang memiliki bentuk dua dimensi seperti persegi/bujur sangkar dan persegi panjang. Maka sering ditemui istilah ‘gelombang kotak’.

Setelah menyegarkan kembali ingatan tentang persamaan dan perbedaan antara square (persegi atau bujur sangkar) dengan rectangle (segi empat atau persegi panjang), kita bisa melanjutkan ke penerapannya pada penamaan gelombang.

Penamaan ‘gelombang kotak’ dapat menimbulkan kerancuan jika tidak diperhatikan dan dipilah dengan baik. Untuk itu setelah frekuensi dan periode dibahas di artikel sebelumnya, kali ini kita lanjutkan dulu pembahasan mengenai penamaan gelombang berdasarkan lebar pulsanya (pulse width) baru kemudian mempelajari mengenai polaritas sinyal.


Gambar 2. [ Klik gambar untuk memperbesar tampilan ]

Gambar 3. [ Klik gambar untuk memperbesar tampilan ]

Gambar 2 yang diperoleh dari Wikipedia memperlihatkan perbandingan antara square wave dengan bentuk gelombang yang lain. Abaikan terlebih dahulu amplitudo dan polaritas gelombang. Perhatikan dulu lebar pulsanya (pulse width), perbandingan antara waktu ON (high) terhadap waktu OFF (low).

Gambar 3, yang juga diperoleh dari Wikipedia menunjukkan gelombang yang dinamakan sebagai rectangular wave atau pulse wave atau pulse train. Bisa dilihat bahwa lebar pulsa tidak lagi 50 %, meskipun bentuknya sama-sama menyerupai ‘kotak’.

Dikatakan juga bahwa square wave (gelombang persegi atau bujur sangkar) merupakan ‘kasus khusus’ dari rectangular wave. Yaitu suatu rectangular wave yang memiliki duty cycle sebesar 50 %.

Setelah memahami persamaan dan perbedaan antara square wave dengan rectangular wave berdasarkan lebar pulsa (pulse width) arau duty cycle, berikutnya kita akan melihatnya dari sisi polaritas sinyal.

Suatu sinyal (signal) dikatakan memiliki polaritas yang berbalik (alternate) jika amplitudonya berubah/berpindah dari positif ke negatif, atau sebaliknya. Bisa juga disebut sebagai bidirectional waveforms atau alernating waveforms.

Sinyal yang tidak pernah mengalami perubahan polaritas disebut sebagai unidirectional waveforms. Baik square wave maupun rectangular wave (selain square wave) dapat merupakan sinyal  yang unidirectional maupun bidirectional/alternating/bipolar.


Gambar 4. [ Klik gambar untuk memperbesar tampilan ]

Gambar 4 diperoleh dari situs produsen instrumen elektronik Tektronix. Pada gambar itu baik square wave maupun rectangular wave merupakan alternating wave/bidirectional wave/bipolar. Berbeda dengan Gambar 3 yang menunjukkan rectangular wave yang unipolar.

Pemahaman ini penting karena kadang-kadang ditemui keterangan/gambar yang hanya menyampaikan kombinasi yang tidak lengkap. Misalnya pada Gambar 5 berikut ini yang diperoleh dari situs yang sangat bagus dalam membahas ilmu elektrikal milik James Irvine. Pada tabel di Gambar 5 di bawah ini square wave yang ditampilkan merupkan gelombang yang alternating wave/bipolar wave/bidirectional wave. Sedangkan rectangular wave yang ditampilkan adalah unidirectional wave. Yaitu gelombang yang nilainya positif saat high, dan akan bernilai 0 saat low.


Gambar 5. [ Klik gambar untuk memperbesar tampilan ]

 Unidirection Rectangular Wave 

Untuk memudahkan pembahasan, kita mengikuti filosofi bahwa sebaiknya kita belajar dengan sesuatu yang sederhana terlebih dahulu. Setelah bentuk yang sederhana dipahami barulah secara bertahap kita dapat menambah kompleksitas bahan belajar. Untuk itu, dalam belajar melakukan perhitungan amplitudo gelombang kotak (square wave/rectangular wave), kita sebaiknya mulai dari tipe unidirectional wave. Sinyal yang akan dihitung hanya berada dalam satu polaritas saja yaitu wilayah positif. Pada keadaan terendahnya sinyal ini akan bernilai 0 (nol) volt atau 0 (nol) ampere.


Gambar 6. [ Klik gambar untuk memperbesar tampilan ]

Dapatkah anda menghitung nilai average (rata-rata) dan rms pada Gambar 6, yang merupakan hasil simulasi dengan Tina-TI, di atas?

Gelombang pada Gambar 6 adalah square wave, yaitu sinyal PWM rectangular wave yang memilki duty cycle sebesar 50 %. Lebar pulsa, pulse width atau positive pulse width sebesar 10 ms. Periode untuk satu siklus penuh adalah 20 ms. Tegangan maksimum pada saat ON (high) adalah 5 V, sedangkan tegangan minimum saat OFF (low) adalah sebesar 0 V.

Persamaan berikut dipakai untuk mencari nilai rata-rata (average):

Untuk sinyal pada Gambar 6, perhitungan akan seperti ini:

Untuk mencari nilai rms (root-mean-square) dari gelombang kotak persegi (square wave) dapat dipakai persamaan berikut:

Untuk sinyal pada Gambar 6, akan didapat hasil:

Kedua perhitungan itu sebenarnya sama, tetapi berbeda cara dalam menyatakan pemisahan nilai desimal. Yang satu menggunakan ‘koma’ dengan tanda koma (,) sedang yang lain menggunakan tanda titik (.) untuk ‘koma’ (pemisah nilai desimal).


Gambar 7. [ Klik gambar untuk memperbesar tampilan ]

Pada Gambar 7, dapat dilihat gelombang kotak yang merupakan rectangular wave. Yaitu pulse train dari PWM yang duty cycle-nya tidak bernilai 50 %. Nilai pulse width (pulse active time) sebesar 5 ms, sedangkan nilai negative pulse width sebesar 15 ms, sehingga nilai periode sebesar 20 ms.

Pada bentuk sinyal seperti ini, nilai rata-rata (misalnya tegangan rata-rata) dapat dihitung dengan persamaan berikut:

Untuk Gambar 7, hasil perhitungan akan seperti ini:

Anda mungkin memperhatikan bahwa sekalipun hasilnya berbeda, tetapi persamaan untuk mencari nilai rata-rata pada Gambar 7 sama dengan persamaan rata-rata pada Gambar 6.  Bedanya pada square wave nilai positive pulse width selalu setengah dari besar nilai periode.

Untuk mencari nilai rms pada rectangular wave seperti pada Gambar 7 dipergunakan persamaan berikut:

Persamaan ini juga dapat dipergunakan pada unidirectionial square wave karena gelombang itu merupakan kasus khusus dari unidirectional rectangular wave.

Hasil perhitungan untuk Gambar 7 akan seperti ini:

 Bidirection Rectangular Wave 

Pada percobaan dasar di laboratorium elektronika daya, umumnya yang dipergunakan adalah unidirectionial wave. Tetapi kadang-kadang kita akan menemui gelombang yang bipolar, memiliki nilai positif dan negatif. Seperti simulasi dengan Multisim Live pada Gambar 8 berikut ini.


Gambar 8. [ Klik gambar untuk memperbesar tampilan ]

Gambar 9. [ Klik gambar untuk memperbesar tampilan ]

Gambar 10. [ Klik gambar untuk memperbesar tampilan ]

Untuk mempermudah belajar kita akan mencari contoh yang mudah untuk dipahami. Saya menemukan contoh yang bagus untuk dijadikan bahan belajar untuk menentukan nilai rata-rata bipolar/bidirectional rectangular wave. Gambar 9 adalah visualisasi dengan simulasi LTspice dari contoh perhitungan yang saya capture dan tampilkan pada Gambar 10. Kuncinya adalah perthitungan integral (jumlah) dari keseluruhan nilai amplitudo sinyal (misalnya tegangan) untuk seluruh rentang periode dibagi dengan periode. Pada kedua gambar dapat dilihat bahwa nilai rata-rata sama dengan 1,8 V.

Untuk mencari nilai rms pada Gambar 9 di atas (klik Gambar 9 untuk memperbesar tampilan), maka diperlukan persamaan sebagai berikut:

Pada contoh Gambar 9 hasil perhitungannya akan sama dengan hasil simulasi, yaitu:

Bagaimana dengan rectangular wave yang memiliki postur simetris seperti pada Gambar 8 di atas? Kita dapat melakukan simulasi kembali dengan LTspice seperti pada Gambar 11.


Gambar 11. [ Klik gambar untuk memperbesar tampilan ]

Hasil simulasi LTspice pada Gambar 11 dapat dibandingkan dengan perhitungan manual. Perhitungan untuk nilai rata-rata dapat menggunakan persamaan yang sama seperti pada Gambar 10. Baik hasil perhitungan maupun penalaran sederhana akan menghasilkan nilai yang sama, yaitu 0 (nol). Luas wilayah positif sama persis dengan luas wilayah negatif, karena itu nilai rata-ratanya sama dengan nol.

Adapun hasil pada Gambar 11 yaitu 9,1667 nV merupakan ketidakidealan yang dapat diabaikan dan diartikan sama dengan nol untuk gelombang ideal. Pengukuran pada sistem fisik juga akan memberikan nilai yang hampir selalu tidak ideal. Baik karena bentuk sinyal/gelombangnya ataupun karena akurasi & resolusi sistem alat ukurnya.

Pada Gambar 11 di atas pula bisa kita lihat nilai rms yaitu sebesar 5 V. Memang untuk bidirectional square wave/bipolar pulse waveform seperti itu, nilai rms selalu sama dengan nilai puncaknya.

Jika tertarik untuk lebih lanjut mempelajari tentang perhitungan rectangular wave/square wave baik yang unidirectional maupun yang alternating / bipolar / bidirectional, dapat membaca dua artikel berikut:

  1. How to derive the rms value of pulse and square waveforms
  2. RMS of A Square Pulse Train – John Dunn, Consultant, Ambertec, P.E., P.C.

 TEXT: 

  1. Square [Wikipedia]
  2. Square [Math is fun]
  3. Square [Britannica]
  4. Difference Between Square vs. Rectangle
  5. Rectangle [Wikipedia]
  6. Theorems about Quadrilaterals
  7. rectangle
  8. What is the difference between a square and a rectangle?
  9. Jenis dan Sifat Segiempat
  10. Berapa Jumlah Besaran Sudut dalam Suatu Bidang Segi Empat?
  11. Electropedia
  12. A Dictionary of Electronics and Electrical Engineering (5 ed.)
  13. KBBI Daring
  14. Frequency [Wikipedia]
  15. What is frequency?
  16. Frequency [earthguide]
  17. Wave Variables [Texas Gateway]
  18. Square pulse train [electropedia]
  19. Electrical Waveforms
  20. Square wave [Wikipedia]
  21. Pulse wave [Wikipedia]
  22. Square Wave
  23. Tutorial 2 – Waveforms
  24. How to derive the rms value of pulse and square waveforms
  25. RMS of A Square Pulse Train – John Dunn, Consultant, Ambertec, P.E., P.C.
  26. Waveform and Signal Analysis
  27. What is duty cycle?
  28. Pulse Width Modulation
  29. Duty cycle [Wikipedia]
  30. Laureate Duty Cycle & Pulse Width Modulation (PWM) Meter
  31. analogWrite()
  32. Secrets of Arduino PWM
  33. Arduino-PWM-Frequency
  34. What is a Pulse Width Modulation (PWM) Signal and What is it Used For?
  35. Pulse Width Modulation
  36. Pulse-width modulation [Wikipedia]
  37. Pulse Width Modulation
  38. PWM
  39. Pulse Width Modulation [Sparkfun]
  40. What is PWM (Pulse Width Modulation)?
  41. Basic – Pulse Width Modulation (Pwm)
  42. Introduction to Pulse Width Modulation
  43. PWM – Pulse Width Modulation Tutorial | CCP Module
  44. Pulse width modulation (PWM) components
  45. Pulse Width Modulation (PWM) [Comlab]
  46. Frequency-controlled induction motor drive systems

Fungsi pada Scilab dan cara lain menghitung RMS gelombang sinus

Pada post sebelumnya telah diungkapkan uji coba penggunaan Scilab untuk perhitungan numeris average (mean) dan RMS untuk gelombang sinus. Sedangkan perhitungan simbolik untuk menurunkan persamaan average dan RMS gelombang sinus dipergunakan Maxima, yang telah juga saya ungkap di post yang lain. Persamaan-persamaan ini bisa dibuktikan dengan percobaan menggunakan komponen hardware, dibantu dengan simulasi sebagai pembanding [link].

Pada post ini akan diungkapkan ulang mengenai penggunaan Scilab dengan fungsi. Juga sekaligus beberapa cara lain untuk menghitung hal yang sama yang pernah diungkap di post sebelumnya.

 

Gambar 1.

[su_panel border=”2px solid #7FFF81″ shadow=”1px 2px 2px #7FFF81″ radius=”10″]

Pada bagian pertama ini percobaan penggunaan Scilab dimulai dari bentuk yang sederhana. Persamaan untuk mencari nilai RMS dari gelombang sinus dilakukan dengan pengaturan bahwa nilai amplitudonya (A_in) tetap yaitu bernilai satu.

Di bagian ini, sama seperti pada post terdahulu, kembali akan dimulai dengan penggunaan fungsi sqrt dan integrate.

clear;
clc;
A_in=1;
A_rms= A_in * sqrt((1/(2*%pi))*integrate('(sin(x))^2','x',0,(2*%pi)))

Gambar 2.

Gambar 3. Hasil perhitungan.

Pada Gambar 3, dapat dilihat hasil perhitungan numerik untuk mencari nilai RMS gelombang sinus.

Gambar 4. Nilai A_in diganti menjadi 100.

Gambar 5. Hasil perhitungan, nilai A_rms.

[/su_panel]

[su_panel border=”2px solid #FF6473″ shadow=”1px 2px 2px #D95562″ radius=”10″]

function [coef1,A_rms]=hitungRMS(A_in)
    coef1=sqrt((1/(2*%pi))*integrate('(sin(x))^2','x',0,(2*%pi)))
    A_rms=coef1*A_in
endfunction

Contoh salah:

Gambar 6.

Gambar 7.

Gambar 8.

Perhatikan penyebab sehingga Scilab menampilkan pesan kesalahan pada Gambar 8.

Contoh benar:

Gambar 9. Penampilan hasil perhitungan dalam matrix.

Gambar 10. Penamaan matrix pada pemanggilan fungsi.

Gambar 11. Pemanggilan fungsi tanpa menyediakan matrix untuk hasil.

[/su_panel]

[su_panel border=”2px solid #65E6FF” shadow=”1px 2px 2px #65E6FF” radius=”10″]

Penggunaan fungsi linspace dan mean.

function Arms=hitungRMSv2(Ain,divr)
    x=linspace(0,2*%pi,divr)
    y=sin(x)
    Arms=Ain*sqrt(mean(y.^2))
endfunction

Gambar 12.

Gambar 13.

[/su_panel]

[su_panel border=”2px solid #A46D00″ shadow=”1px 2px 2px #A46D00″ radius=”10″]

Fungsi disp.

function Arms=hitungRMSv2(Ain,divr)
    x=linspace(0,2*%pi,divr)
    y=sin(x)
    Arms=Ain*sqrt(mean(y.^2))
    disp (Arms, 'Nilai RMS dari Amplitudo yang anda masukkan')
endfunction

Gambar 14.

Gambar 15.

Gambar 16.

[/su_panel]

[su_panel border=”2px solid #D1FF8C” shadow=”1px 2px 2px #D1FF8C” radius=”10″]

clear;
clc;
function y = f(x), y = x + 1, endfunction

Gambar 17.

Gambar 18.


clear;
clc;
function j = d(w), j = w + 1, endfunction

Gambar 19.


clear;
clc;
function j = d(w), j = w + 1, endfunction

A1=d(3)^2
A2=d(4)^2
A3=d(5)^2

Gambar 20.


clear;
clc;
function y = f(x), y = (sin(x))^2, endfunction

rms = sqrt( (1/(2*%pi)) * intg(0, 2*%pi, f))

Gambar 21.


clear;
clc;
function y = f(x), y = (sin(x))^2, endfunction
rms = sqrt( (1/(2*%pi)) * intg(0, 2*%pi, f));
printf("Nilai rms adalah :  " + string(rms));

Gambar 22.


Fungsi printf.

clear;
clc;
function y = f(x)
    y = (sin(x))^2
endfunction
rms = sqrt( (1/(2*%pi)) * intg(0, 2*%pi, f))

Gambar 23.


Fungsi intg.

clear;
clc;
function y = f(x)
    y = (sin(x))^2
endfunction
function hitungRMS(Ain)
    rmsNum = sqrt( (1/(2*%pi)) * intg(0, 2*%pi, f));
    rms = Ain * rmsNum;
    disp(rms,"Nilai rms dari sinyal masukan: ")
endfunction

Gambar 24.

Gambar 25.

Gambar 26.

Gambar 27.

clear;
clc;
function y = f(x)
    y = (sin(x))^2
endfunction
function hitungPeak(rms_in)
    rmsNum = sqrt( (1/(2*%pi)) * intg(0, 2*%pi, f));
    S_peak = rms_in / rmsNum;
    disp(S_peak,"Nilai amplitudo dari masukan rms :  ")
endfunction

Gambar 28.

Gambar 29.

Gambar 30.

[/su_panel]

[su_panel border=”2px solid #C5BB4A” shadow=”1px 2px 2px #C5BB4A” radius=”10″]

function sunu_rms
    // clear;
    clc ;
    A = 1;
    x =0:1:10;

    sig =(integrate('A^2*(sin(x))^2','x',0,2*%pi))/(2*%pi);
    disp (sig, 'Kuadrat dari sinyal adalah : ');

    y2 = round (sig);
    disp (y2 , 'Pembulatan nilai kuadrat dari sinyal adalah:');

    A_rms=sqrt(sig);
    disp (A_rms , 'Nilai RMS (cara #1) dari sinyal adalah:');

    A_rms=A* sqrt((integrate('(sin(x))^2','x',0,2*%pi))/(2*%pi));
    disp (A_rms , 'Nilai RMS (cara #2) dari sinyal adalah:');

    A_rms=sqrt((integrate('(A*(sin(x)))^2','x',0,2*%pi))/(2*%pi));
    disp (A_rms , 'Nilai RMS (cara #3) dari sinyal adalah:');

    A_rms=sqrt((integrate('A^2*(cos(x))^2','x',0,2*%pi))/(2*%pi));
    disp (A_rms , 'Nilai RMS (cara #4) dari sinyal adalah:');        
endfunction

Gambar 31.

[/su_panel]

[su_panel border=”2px solid #CCFF33″ shadow=”1px 2px 2px #CCFF33″ radius=”10″]

\(y = A\times \sin \left ( x+\theta \right )\)

clear;
clc;
function plotSig(Ain,res,end)
    //clc;
    A = Ain;
    f = 1;
    theta = 0;
    x = 0:res:end;
    y = A*sin((x)+theta);
    plot(x,y)
endfunction
plotSig(1,1e-3,2*%pi)

Gambar 32.

Gambar 33.


\(y = A \times \sin \left ( \left (2\times \pi \times f \times t \right ) +  \theta \right )\)
clear;
clc;
function plotSig(Ain,res,end)
    //clc;
    A = Ain;
    f = 1;
    theta = 0;
    x = 0:res:end;
    y = A*sin((2*%pi*f*x)+theta);
    plot(x,y)
endfunction
plotSig(1,1e-3,1)

Gambar 34.

Gambar 35.

[/su_panel]

[su_panel border=”2px solid #FF3300″ shadow=”1px 2px 2px #FF3300″ radius=”10″]

clear;
clc;
function A_sesaat(Ain,t,thetaRad)
    //clc;
    y = Ain*sin((t)+thetaRad);
    disp(y,"Nilai amplitudo")
endfunction
A_sesaat(1,1.57,0)
A_sesaat(1, (1/4)*(2*%pi) ,0)

Gambar 36.


clear;
clc;
function A_sesaat(Ain,f,t,thetaRad)
    //clc;
    y = Ain*sin((2*%pi*f*t)+thetaRad);
    disp(y,"Nilai amplitudo")
endfunction
A_sesaat(1,50,0.005,0)
A_sesaat(1,50, asin(1)/(2*%pi*50) ,0)

Gambar 37.

[/su_panel]

[su_panel border=”2px solid #9900FF” shadow=”1px 2px 2px #8900E5″ radius=”10″]

Contoh penggunaan fungsi intsplin.

clc
t=0:1e-1:2*%pi;
sqrt((1/(2*%pi))*intsplin(t,sin(t).^2))

t=0:1e-3:2*%pi;
sqrt((1/(2*%pi))*intsplin(t,sin(t).^2))

Gambar 38.

[/su_panel]

[su_panel border=”2px solid #80B3FF” shadow=”1px 2px 2px #80B3FF” radius=”10″]

Semua perhitungan yang menggunakan fungsi sin maupun cos dalam Scilab dihitung dalam radian. Sedangkan untuk mode derajat (degree) fungsi yang dipegunakan adalah sind dan cosd.

Gambar 39. [/su_panel]

[su_panel border=”2px solid #FF33CC” radius=”10″]

screenshot_20161012-020433.jpgGambar 40.

screenshot_20161012-020446.jpgGambar 41.

screenshot_20161012-020455.jpgGambar 42.

screenshot_20161012-021254.jpgGambar 43.

screenshot_20161012-021118.jpgGambar 44.

[/su_panel]

Rata-rata dan RMS dengan WolframAlpha

Pada post ini saya hanya akan menyampaikan beberapa screenshot yang menunjukkan bagaimana WolframAlpha dapat dipakai sebagai sarana belajar untuk memahami tentang average (rata-rata) dan RMS.

screenshot_20161002-013348.jpgGambar 1.

screenshot_20161002-014136.jpgGambar 2.

screenshot_20161002-013226.jpgGambar 3.

screenshot_20161001-000242.jpgGambar 4. Nilai average untuk setengah gelombang sinus (dari 0 sampai π).

screenshot_20160930-212738.jpgGambar 5. Nilai RMS untuk satu gelombang penuh sinus (dari 0 sampai 2π).

screenshot_20161002-013651.jpgGambar 6. Contoh konversi tegangan puncak ke RMS.

screenshot_20160930-210735.jpgGambar 7. Power RMS.

font cache: Ψ α β π θ μ Φ φ ω Ω ° ~ ± ≈ ≠ ≡ ≤ ≥ ∞ ∫ • ∆ 

 

Gelombang Sinus Arus Bolak-Balik, Average dan RMS

Belajar elektronika daya maupun elektrikal pada umumnya, tidak bisa lepas dari berhubungan dangan gelombang sinus (sine curve / sinusoid ). Terutama pada sistem daya, bentuk gelombang ini yang paling umum ditemui. Baik untuk pembangkitan, transmisi maupun distribusi. Umumnya penyaluran energi listrik dengan arus bolak-balik (alternating current, A.C.) menggunakan bentuk ini. Karena itu pengenalan bentuk gelombang ini sangat penting.

Karena itu sebagai kelanjutan dari upaya untuk mencoba belajar dengan sistematis, yang dimulai dengan penggunaan sakelar sebagai dasar untuk analogi komponen yang lebih kompleks. Lalu dilanjutkan dengan pengenalan diode sebagai kelanjutan dari sakelar elektronik (yang tidak bisa dikendalikan). Maka kali ini akan coba diperkenalkan gelombang bolak-balik sebelum dilanjutkan dengan trafo berbeban resistor lalu penyearah setengah gelombang (half-wave rectifier), lalu penyearah gelombang penuh (full-wave rectifier).

Biasanya alur yang lebih sistematis adalah dengan melakukan simulasi terlebih dahulu dengan perangkat lunak (software) untuk simulasi rangkaian seperti SPICE( PSPICE, LTspice, Multisim, ProSPICE pada Proteus) untuk kemudian diwujudkan dengan komponen sebenarnya (hardware). Tapi untuk memudahkan alur penjelasan, pada tulisan ini arahnya dibalik. Kita akan terlebih dahulu melihat fenomena “aslinya” yang diwujudkan dengan trafo (transformer). Baru kemudian melihat bagaimana hasil simulasi dengan LTspice, apakah bersesuaian dengan kenyataan dengan menggunakan perangkat keras (hardware).

 

[su_panel border=”2px solid #80B3FF” shadow=”1px 2px 2px #80B3FF” radius=”5″]

Untuk memudahkan proses membaca, disarankan untuk membuka halaman ini dalam dua tab atau dua window(jendela). Supaya mudah untuk membaca keterangan dan membandingkan dengan / mengamati gambar. Agar tidak bolak-balik melakukan scroll.

[/su_panel]

 

Gambar 1. Bentuk gelombang sinus tegangan A.C. memperlihatkan bentuk kurva yang tidak ideal.

Pada Gambar 1, terlihat hasil pengukuran dengan DSO (digital storage oscilloscope). Gambar tersebut adalah hasil capture dengan zoom untuk dapat lebih memperlihatkan bahwa pada kenyataan praktik sehari-hari, gelombang A.C. jarang yang memiliki bentuk sempurna seperti hasil perhitungan matematis maupun hasil simulasi yang tidak memasukkan unsur ketidakidealan. Gampang ditebak hasil pengukuran numeris (berupa angka), juga akan sangat mungkin berbeda dengan hasil perhitungan atau simulasi.

Gambar 2. Bentuk gelombang sinus tegangan A.C. dengan jumlah siklus yang lebih banyak.

Pada gambar di atas, lebih banyak siklus tegangan bolak-balik yang ditampilkan. Ini untuk menunjukkan bahwa tegangan A.C. (bisa juga arus A.C. pada kesempatan lain) adalah gelombang periodik yang (sepanjang tidak ada gangguan) akan terus berulang-ulang tanpa henti. Satu periode akan sama dengan periode lainnya, dalam sistem sumber ideal. Pengecualian tentu saja untuk sumber, beban, atau sistem yang berubah bahkan tidak stabil.

Gambar 3. Semua pengukuran numeris ditampilkan pada DSO.

Pada Gambar 3, kita bisa melihat adanya fasilitas pada rata-rata DSO modern yang memungkinkan kita untuk pada satu saat bisa melihat semua parameter yang bisa diukur dari sinyal yang sedang diukur.

Gambar 4. Panduan untuk memahami definisi parameter pada Gambar 3.

Gambar 5. Hasil simulasi dengan LTspice, Vp=52 Volt AC, frekuensi=50Hz.

Gambar 5, menunjukkan bahwa dengan simulator rangkaian seperti LTspice kita bisa membandingkan antara perhitungan komputer (dengan simulasi) dengan perilaku tegangan/arus A.C.. Di sebelah kiri, bisa dilihat bagaimana pengaturan simulasi dilakukan. Bisa dilihat disimulasikan tanpa beban, artinya pada rangkaian terbuka (open circuit). Begitu juga pada pengujian sebenarnya dengan hardware berupa trafo, kita pada artikel ini hanya menggunakan trafo tanpa beban.

Gambar 6. Fasilitas di LTspice yang memungkinkan pengguna untuk mengetahui nilai rata-rata dan r.m.s.

Gambar 6, menunjukkan bahwa di LTspice kita bisa mengetahui nilai rata-rata (average) dan nilai R.M.S (root mean square) dari suatu gelombang yang disimulasikan.

Mari memulai untuk mempelajari gelombang A.C. dengan data percobaan dan simulasi yang kita miliki. Kita mulai dari Gambar 5, dari gambar itu kita bisa mengetahui bahwa frekuensi dari gelombang tegangan A.C. adalah 50 Hz. Dengan persamaan f= (1/T), dengan T adalah periode, kita bisa mengetahui untuk gelombang dengan frekuensi 50 Hz, periodenya adalah 20 mS. Dengan demikian pada Gambar 5, terdapat dua siklus gelombang penuh, 2*20 mS = 40 mS. Dengan cara yang sama untuk satu detik (1 S) terdapat 50 siklus penuh gelombang sinus (kembali, frekuensi 50 Hz).

Dari Gambar 5, kita juga bisa melihat adalah kesimetrisan pada dua siklus penuh gelombang sinus itu (dua puncak dan dua lembah). Jika antara titik puncak (tertinggi, bernilai paling positif) dengan garis horizontal 0 (nol) dapat dibayangkan sebagai daerah di bawah kurva, maka sama halnya dengan daerah antara lembah (titik terendah, paling negatif) dengan garis 0 dapat juga disebut sebagai daerah di bawah kurva. Jika daerah positif ditambahkan dengan satu daerah negatif pada satu siklus, maka gampang dilihat akan menghasilkan nilai nol. Daerah positif sama nilai absolutnya dengan daerah negatif. Seperti 5+(-5) = 0 atau seperti memiliki tabungan sejuta rupiah tetapi memiliki hutang sejuta rupiah juga.

Cara memahami dengan intuitif, melihat gambar kurva gelombang dapat dilengkapi dengan melihat hasil simulasi pada LTspice (atau perangkat lunak lainnya). Pada Gambar 6, panah nomor satu, kita bisa membaca berapa nilai rata-rata (average) suatu gelombang penuh sinus (dalam simulasi ini dua siklus). Ordenya nano (nV) tentu sangat kecil bila dibandingkan dengan tegangan puncak (Vpeak) yang sebesar 52 V. Pada Gambar 3, kita bisa melihat tegangan rata-rata yang terukur oleh DSO sebesar -800 mV, juga merupakan suatu nilai yang kecil bila dibandingkan dengan tegangan puncaknya. Kita bisa menganggapnya sebagai penyimpangan dan ketidaksempurnaan, kita untuk banyak keperluan praktis menganggapnya sama dengan nol volt pada gelombang sinus ideal.

Sebagai pelengkap dari pengukuran real dengan DSO dan simulasi dengan LTspice, serta pemahaman berdasar pengamatan dan nalar sederhana, kita bisa kembali dengan memahami dasar perhitungan matematisnya. Memang, tidak praktis untuk banyak keperluan sehari-hari tetapi cukup penting dalam fase belajar memahami dasar-dasar suatu bidang ilmu.

Gambar 7. Dasar perhitungan nilai rata-rata gelombang sinus ideal.

Pada Gambar 7, tercantum urutan penurunan persamaan yang membuktikan bahwa menurut perhitungan matematis, satu gelombang sinus ideal, nilai rata-ratanya akan sama dengan nol. Ini berlaku juga pada gelombang sinus untuk tegangan atau arus A.C., dengan catatan gelombangnya ideal. Dan karena sinus ideal sulit didapatkan maka biasanya nilai rata-ratanya tidak tepat nol, melainkan mendekati, dengan nilai yang kecil. Seperti yang ditampilkan pada Gambar 3, dan Gambar 6.

Di Gambar 7, bisa kita lihat rentang perhitungan luasan di bawah kurva dimulai dari 0 sampai 2*pi (dalam radian). Nilai hasil perhitungan integral berhingga itu dikalikan dengan nilai Vp (Vpeak, nilai tegangan puncak). Kemudian untuk memperoleh rata-rata maka dibagi dengan rentang satu siklus penuh gelombang, yaitu 2*pi. Hasilnya, lagi, sama dengan nol volt.

Karena nilai rata-rata (average atau mean) dari suatu gelombang sinus AC satu siklus penuh sama dengan nol, maka kita mengambil nilai separuhnya. Artinya rentang pengukuran luas hanya dari 0 sampai pi, dan pembagian untuk memperoleh nilai rata-rata juga dipergunakan pi (bukan; 2*pi). Dengan kata lain kita benar-benar hanya mengambil separuh gelombang sinus sebagai nilai rata-rata.

Gambar 8. Perhitungan untuk memperoleh nilai rata-rata setengah gelombang yang mewakili satu gelombang penuh.

Biasanya kita memperoleh nilai rata-rata tegangan atau arus A.C. (hanya setengah gelombang) sebagai 0.637 * Vpeak di banyak sumber acuan maupun bacaan. Dapat dilihat pada Gambar 8, nilai tersebut adalah pembulatan dari perkalian dengan hasil perhitungan nilai integrasi.

Mungkin sampai di sini tampaknya persoalan kita untuk memperoleh suatu nilai pengukuran dari gelombang sinus (tegangan atau arus) A.C. sudah selesai. Sebenarnya tidak, masih ada persoalan lain yang berhubungan dengan upaya untuk memperoleh nilai dari tegangan dan arus A.C. Misalnya, persamaan pada Gambar 8, dibangun di atas asumsi bawa bentuk gelombang sinus (sine) dari tegangan atau arus A.C. berbentuk ideal. Kalau bentuk gelombang sinus-nya berbeda jauh dari bentuk idealnya, maka nilainya juga akan meleset jauh. Ini bisa berbahaya. Misalnya jika kita mengetahui nilai puncak maka kita bisa menghitung nilai average-nya untuk hanya setengah gelombang dengan menggunakan 0.637 * Vpeak , tetapi jika bentuk gelombangnya (sebagai perwujudan dari nilai pengukuran tiap selang waktu tertentu) tidak ideal maka hasilnya akan berbeda dari kenyataannya. Perhitungan akan menghasilkan “pengukuran” yang salah.

Misalnya hal lain lagi, kita berkepentingan dengan energi dan laju energi itu dipergunakan. Kita ingin mengetahui daya. Pada sistem/rangkaian arus searah (D.C.) kita dapat relatif mudah mengukur laju penggunaan energi (yaitu daya). Bentuk yang paling mudah diperhatikan dan diukur sejak dahulu kala adalah bentuk panas. Dengan nilai tegangan listrik D.C. tertentu dan nilai tahanan tertentu kita akan mendapatkan aliran listrik dengan nilai tertentu pula (hukum Ohm). Nah kalau perkalian dari tegangan dan arus ini cukup besar (daya) maka kita akan mendapatkan laju penggunaan energi yang besar pula (nilai daya besar). Efeknya pada resistor atau komponen yang sifat resistifnya dominan, akan menimbulkan panas. Nilai besaran panas ini bisa kemudian diukur untuk diperbandingkan. Berapa daya yang diperlukan untuk menghasilkan panas yang sama, dalam keadaan semua faktor lain dibuat sama.

Dengan begitu sesungguhnya kita bisa membandingkan dua sistem sumber daya (sumber tegangan atau arus) berdasarkan efek panas yang dihasilkan pada resistor yang dipakai sebagai beban. Kita “tidak perlu” lagi mengetahui bentuk gelombang masukan (input) tegangan atau arus, dari sudut pandang ini. Kita hanya perlu membandingkan efek panas yang dihasilkan. Jika sistem, sebut saja, A diketahui dengan pasti parameter tegangan, arus dan dayanya sedangkan sistem B tidak kita ketahui, tetapi efek panas yang dihasilkan sama maka keduanya dapat kita katakan sama. Sistem B sama dengan sistem A, dari sudut pandang transfer energi. Cara pembandingan ini memudahkan kita jika gelombang periodik sistem B, katakanlah, tidak mudah untuk diukur.

Dihubungkan dengan pembahasan tentang nilai rata-rata gelombang sinus pada beberapa paragraf sebelumnya, kita bisa membayangkan suatu skenario. Jika gelombang periodik A.C. ternyata tidak berupa sinus murni, maka kita akan mengalami kesulitan pengukuran. Dengan alasan-alasan ini kita memerlukan parameter lain selain rata-rata (average atau mean). Parameter lain itu disebut R.M.S. (root-mean-square). Tinjauan fisika dari RMS sudah diungkapkan di beberapa paragraf sebelum paragraf ini, kita membandingkan efek panas yang dihasilkan.

Tinjauan matematis dari RMS (root-mean-square) juga didasarkan dari perhitungan terhadap luasan (daerah) di bawah kurva, dilakukan dengan menggunakan integral (integrasi). Secara sederhana sesungguhnya proses perhitungan mengikuti urutan penamaan; root-mean-square, akar dari rata-rata dari suatu nilai yang dikuadratkan.

Gambar 9. Penyelesaian perhitungan integrasi untuk mendapatkan nilai RMS dari gelombang sinus satu siklus.

Gambar 9 memberikan gambaran bagaimana suatu perhitungan matematis yang lebih formal dilakukan untuk memperoleh suatu nilai rms dari tegangan A.C. dengan bentuk gelombang sinus, satu siklus penuh. Dapat dilihat, sama dengan Gambar 7, rentang pengukuran satu siklus penuh yaitu dari 0 sampai 2*pi.

Gambar 10. Persamaan dan perhitungan RMS gelombang sinus satu siklus.

Gambar 10 merupakan ringkasan yang mempermudah untuk melihat dari mana asal datangnya nilai 0.707 yang terkenal itu🙂. Dari gambar ini kita bisa melihat penurunan persamaan bahwa
Vrms = 0.707 * Vpeak

Di penggunaan sehari-hari, untuk banyak pekerjaan dan keperluan biasanya kita jarang mempergunakan persamaan integral untuk mencari nilai rms dari suatu tegangan A.C.🙂. Sedikit perkecualian, mungkin untuk analisis sinyal.

Gambar 11. Nilai RMS dengan contoh tegangan simulasi 1 V, normalisasi.

Tidak ada yang baru pada Gambar 11,  gambar ini sengaja dibuat untuk menunjukkan normalisasi. Jika input sama dengan satu, maka nilai lainnya dibandingkan dengannya. Dalam hal ini nilai 0.707 (707 mV) dapat lebih mudah terlihat. Nah karena masih menggunakan perhitungan integral dengan masukkan tegangan puncak (Vpeak) maka perhitungan inipun masih rentan terhadap kesalahan jika gelombang bukan gelombang sinus ideal. Perhitungan Vrms = 0.707 * Vpeak, akan menghasilkan kesalahan, sama dengan perhitungan rata-rata. Tetapi kita mendapatkan suatu konsep yang baik yaitu RMS. Kita bisa mengukur berdasarkan efek panas yang dihasilkan, dan membandingkannya dengan sumber DC rata.

Dengan menggunakan DSO yang memiliki frekuensi cuplik yang tinggi dan memadai untuk tiap keperluan, kita bisa melakukan pengukuran gelombang dengan akurat. Kita bisa merekonstruksi bentuk gelombang yang diukur dengan tepat, sama dengan aslinya. Tetapi pada DMM murah yang banyak dijual, kita tidak seberuntung itu. Nilai tegangan A.C. yang ditampilkan adalah nilai pendekatan dengan mengasumsikan bahwa tegangan A.C. yang diukur adalah tegangan A.C. dengan bentuk gelombang sinus yang ideal. Sekali nilai tertinggi diperoleh, maka nilainya akan dikalikan dengan 0.707 untuk memperoleh nilai rms. Tentu saja seperti yang telah kita lihat pada gambar-gambar hasil pengukuran di artikel ini. Nilai itu bisa sangat mungkin salah, tidak menggambarkan kondisi sesungguhnya.

Alat ukur multimeter yang lebih baik sering disebut sebagai TrueRMS DMM. Sesuai dengan namanya, DMM (digital multimeter) jenis ini tidak menggunakan pendekatan dalam melakukan perhitungan. Melainkan mengukur nilai rms sesungguhnya, baik dengan menggunakan konversi panas, maupun dengan mendayagunakan frekuensi pencacahan yang tinggi. Hanya saja DMM dengan kemampuan True RMS ini harganya, biasanya, masih sangat mahal. Sampai saat tulisan ini dibuat, banyak yang dibuat oleh produsen dengan reputasi baik berharga lebih mahal dari DSO 100 MHz (1 GSa/s)😀.

Baiklah, dengan demikian kita sudah bisa memahami dari mana persamaan:

Vaverage = 0.637 * Vpeak

dan

Vrms = 0.707 * Vpeak

berasal🙂. Kita juga sudah memahami makna dari masing-masing cara pengukuran tersebut. Penting untuk mengingat bahwa Vaverage di sini adalah nilai untuk setengah gelombang dari 0 sampai pi (180 derajat). Sedangkan Vrms di persamaan di atas adalah nilai untuk gelombang penuh 2*pi (360 derajat).

Jadi saat membaca bahwa tegangan listrik PLN satu fase adalah 220 V, kita bisa segera mengingat bahwa itu adalah nilai tegangan RMS. Nilai tegangan puncaknya bisa bernilai sekitar 220*sqrt(2) atau kurang lebih sebanding dengan 311.127 VAC.

Update:

Gambar 12. Contoh perhitungan pembuktian dengan kalkulator Algeo.

Pada Gambar 12, perhitungan bisa dilakukan di sistem murah meriah, Android, yang dimiliki oleh banyak orang. Salah satu aplikasi yang telah dicoba mampu menyelesaikan perhitungan semacam ini adalah aplikasi Algeo.

Gambar 13. Perhitungan nilai rata-rata untuk setengah gelombang dengan kalkulator biasa.

Jika memiliki kalkulator elektronik fisik seperti ini, kita bisa memanfaatkannya untuk membuktikan perhitungan nilai rata-rata maupun nilai RMS.

Gambar 14. Perhitungan untuk nilai RMS gelombang sinus dengan hasil fraction.

Gambar 15. Perhitungan nilai RMS untuk gelombang sinus dengan hasil desimal.

screenshot_20161001-000242.jpgGambar 16. Perhitungan average untuk sinusoid dengan WolframAlpha.

screenshot_20160930-212738.jpgGambar 17. Perhitungan RMS untuk sinusoid dengan WolframAlpha.

screenshot_20160930-210735.jpgGambar 18. Perhitungan RMS untuk sinusoid dengan WolframAlpha.

Bacaan lebih lanjut yang baik dapat diperoleh di semua link di bawah ini:

  1. http://www.electronics-tutorials.ws/accircuits/average-voltage.html
  2. http://www.electronics-tutorials.ws/accircuits/rms-voltage.html
  3. ROOT MEAN SQUARE or ROOT-MEAN-SQUARE (RMS)
  4. http://www.learnabout-electronics.org/ac_theory/ac_waves02.php
  5. http://electrowavecorp.com/power-measurements/

Save