Korelasi dan kausalitas

Gambar 1.

Gambar2.

Illiterate dapat diterjemahkan secara sederhana sebagai buta huruf. Tetapi apa yang dimaksud oleh Alvin Toffler bukan buta huruf dalam pengertian seperti itu. Yang dimaksud “buta huruf” lebih tepat sebagai kurang berpengetahuan (lack of knowledge) atau bahkan kurang berpendidikan (having little education). Jadi menurut Alvin Toffler berbeda dengan abad sebelumnya, illiterate di abad 21 bukan lagi mereka yang tidak dapat membaca dan menulis. Melainkan siapa saja yang tidak dapat belajar, untuk suatu saat jika diperlukan melupakan apa yang pernah dipelajarinya dan mengulangi proses belajar. Singkatnya seseorang yang tidak dapat memperbaharui pengetahuannya.

Bisa diperhatikan dalam kehidupan sehari-hari di masa-masa ini, disamping ada hal-hal yang belum banyak berubah selama ratusan tahun, ada pula yang berubah jauh dari dekade (sepuluh tahun) sebelumnya. Dari hal-hal yang praktis sampai ke hal-hal yang lebih fundamental (mendasar). Misalnya cara kita mempergunakan perangkat komunikasi telepon sudah jauh berubah dari sepuluh tahun yang lalu, apa lagi berpuluh tahun yang lalu. Cara kita memperlakukan data dan informasi sudah banyak pula berubah. Tidak lagi sama dengan yang lalu.

Mereka yang menolak untuk berubah, menentang perubahan bisa jadi bukan hanya akan memperlambat kemajuan. Bahkan bisa benar-benar menghalangi kemajuan. Contoh ringan dengan cita rasa komedi, bayangkan misalnya jika para penguasa berkeras untuk mempergunakan mesin ketik mekanis dan melarang penggunaan perangkat PC seperti yang kita kenal sekarang. Betapa susahnya kemajuan dalam berbagai bidang diraih. Karena itu Alvin Toffler masih terbukti benar, kita harus bersedia untuk selalu belajar, dan mengulangi pelajaran. Mengganti hal-hal yang menghalangi kemajuan.

Gambar 3.

Saat saya menulis post ini, judul berita pada Gambar 3 mungkin akan disikapi dengan berbeda dengan saat berita itu pertama kali diturunkan. Judul berita itu bisa jadi saat ini dimaknai sebagai sesuatu yang wajar, sekedar menggambarkan kebetulan belaka. Urutan dari dua kejadian yang memang tidak berkaitan. Tetapi berita itu dan yang serupa dengannya saat pertama kali ditayangka bisa disikapi sebagai sesuatu yang spekulatif, atau malah provokatif. Seolah-olah karena Jokowi (Presiden Joko Widodo) mendarat di Jeddah maka terjadi musibah di Makkah. Ini tentu dapat dinyatakan sebagai kesalahan asumsi pembaca saja. Tetapi dengan suasana saat itu, “permainan” asumsi bisa mudah terjadi. Bagi yang lupa atau belum mengetahui suana saat itu bisa membaca di bagian komentar post berita itu dan berita yang serupa, untuk memahami suasana saat itu.

Berita seperti itu hanyalah salah satu dari banyak bahan yang bisa menjadi pelajaran dan penerapan pemahaman tentang korelasi dan kausalitas. Pemahaman ini lebih penting perlu diterapkan di dalam bidang kerekayasaan (engineering) untuk memaksimalkan penggunaan sumber daya sehingga efektif dan efisien.

Sebelum melanjutkan mengenai korelasi dan kausalitas ada baiknya membaca terlebih dahulu pengertian (definisi) kata-kata utama yang dipergunakan berdasarkan kamus yang umum diterima dan dipakai sebagai acuan sebagai berikut:

Gambar 4.

screenshot_20160916-090709.jpgGambar 5.

screenshot_20160916-090634.jpgGambar 6.

screenshot_20160916-090731.jpgGambar 7.

screenshot_20160916-090618.jpgGambar 8.

screenshot_20160916-090742.jpgGambar 9.

Gambar 10.

screenshot_20160916-091701.jpgGambar 11.

screenshot_20160916-092018.jpgGambar 12.

 

Gambar 13.

Pada Gambar 13 (sumber: academic.uprm.edu) contoh yang sepintas konyol tetapi sebenarnya memberi contoh potensi kesalah pahaman yang serius adalah mengenai hubungan antara jumlah anggota pemadam kebakaran dengan tingkat kerusakan oleh kebakaran. Bisa jadi data menunjukkan bahwa untuk tiap kasus terdapat pola bahwa semakin banyak jumlah anggota pemadam kebakaran yang merespon, mendatangi dan berusaha memadamkan suatu kebakaran maka semakin besar juga kerusakan di lokasi kebakaran. Sepintas seolah-olah para anggota pemadam kebakaranlah yang menyebabkan bertambah besarnya kerusakan. Untungnya untuk contoh semacam ini, yang saya sebut sebagai “sangat kontras”, mudah bagi banyak orang untuk mendeteksi kesalahan logika yang mungkin terjadi. Tetapi bagaimana dengan hal-hal lain yang “lebih samar” dari contoh ini?

sci4Gambar 14.

Contoh pada Gambar 14 lebih menantang daripada contoh pada Gambar 13. Contoh tentang hubungan antara tingkat konsumsi ice cream dengan jumlah kasus orang tenggelam memang lebih “samar” daripada contoh pada Gambar 13. Ada lebih banyak kemungkinan yang dapat dipikirkan mengenai contoh ini. Lagi pula bisa jadi informasi mengenai hal ini lebih sedikit dan jarang ditemui oleh banyak orang daripada kejadian kebakaran (Gambar 13). 

Correlation vs. Causation (A Mathographic)Gambar 15.

Sains selalu dikembangkan dari waktu ke waktu oleh manusia. Meskipun cukup banyak yang sudah diketahui sehingga manusia mampu untuk membangun peradaban, ada banyak pula yang belum diketahui. Masih dipelajari dan coba dijelaskan. Bisa jadi ada jauh lebih banyak yang bahkan belum diketahui bahwa kita belum tahu. Dengan kata lain, kita bahkan belum bisa memformulasikan pertanyaan yang tepat untuk kemudian dicari jawabannya.

Karena itu hubungan antara dua atau lebih hal di alam raya ini masih terus diselidiki. Banyak hal yang masih dicari bentuk hubungannya dan ada pula yang bahkan perlu dipelajari ulang. Dengan kemajuan sarana bantu teknologi, ada pemahaman-pemahaman baru tentang hal-hal yang sudah pernah ditelaah sebelumnya.

Setelah beberapa membaca beberapa contoh yang bersifat umum, sekarang bagaimanakah penerapan pemahaman terhadap korelasi dan kausalitas dalam pelajaran elektronika daya? Sebagai catatan sebenarnya penerapannya tidak hanya untuk mata kuliah elda (elektronika daya) saja, melainkan juga untuk semua mata kuliah pada bidang elektrikal/elektronika. Bahkan juga untuk bidang engineering (temasuk engineering technology) secara umum.

Salah satu contoh yang relatif paling gampang adalah penerapannya pada hukum Ohm dengan variabel (faktor-faktor) seperti pada Gambar 16. Bagaimana nilai daya jika salah satu variabel berubah sementara yang lain tetap? Apakah hubungannya sebab-akibat? Mana variabel yang berbanding lurus dan yang mana yang berbanding terbalik (berikut format persamaannya)?

screenshot_20160916-092414.jpgGambar 16.

screenshot_20160916-095900.jpgGambar 17.

Dari bentuk persamaan di Gambar 16, sekarang beralih ke simulasi seperti pada Gambar 17. Aplikasi (program) simulasi yang modern memberikan fasilitas untuk mampu mengakomodasi sejumlah kerumitan dan anomali yang dapat ditemui di dunia fisik. Namun demikian banyak juga simulator yang bekerja dengan sangat menyederhanakan fenomena fisika yang sebenarnya terjadi. Meski begitu dalam pelajaran elda, cukup banyak fenomena umum yang bisa dipelajari dengan menggunakan simulator seperti pada Gambar 17. Misalnya, komponen apa saja yang berhubungan dengan bentuk gelombang tegangan antara kaki resistor atau arus yang melintasinya? Apakah konfigurasi diode mempengaruhi frekuensi pada tegangan di kaki-kaki resistor?

Hubungan antar komponen (variabel) dalam simulasi relatif lebih dapat diuji coba dan lebih mudah diperhatikan. Pada komponen fisik, hal tersebut tidak selalu terjadi. Ilmu elektronika (termasuk elektronika daya) merupakan turunan dari ilmu Fisika. Pemahaman dalam ilmu Fisika sendiri terus menerus dikembangkan dan dipakai untuk coba memahami alam semesta, termasuk dunia yang sangat kecil misalnya untuk memahami material untuk komponen elektronika. Belum semua bentuk hubungan yang mungkin terjadi bisa terpetakan dengan baik.

Yang sudah dipahami dengan baik oleh banyak orang pun, belum tentu bisa dipahami (atau diingat dengan baik) oleh orang lain. Misalnya para ilmuwan dan engineer di negara-negara yang lebih maju teknologinya punya lebih banyak kesempatan untuk bergelut dengan komponen, sistem dan alat sehingga dapat lebih mudah untuk memahami hubungan antar bagian. Mereka yang tinggal di negara-negara yang lebih tertinggal dalam sains dan teknologi perlu terus menerus belajar dari mereka yang memang sudah lebih maju. Berbagai fenomena yang normal tetapi belum dipahami dan bahkan anomali seringkali sudah pernah dibahas di tempat lain. Sudah pula didokumentasikan dalam berbagai format. Contoh sederhana adalah penjelasan tentang satuan untuk induktansi pada Gambar 18.

screenshot_20160916-093346.jpgGambar 18.

screenshot_20160916-093622.jpgGambar 19.

Gambar 19 membawa kita lebih jauh lagi dari bentuk persamaan, kembali ke pemahaman langsung kita terhadap dunia sekeliling. Kali ini dengan bantuan sejumlah sensor.

Bagi yang memiliki smartphone besar kemungkinan untuk pernah melihat tampilan serupa pada Gambar 19. Baterai yang terisi penuh energi akan semakin cepat habis jika penggunaannya boros daya. Ada beberapa faktor yang terlibat, misalnya pengaturan tingkat terang pada layar atau seberapa sering perangkat dipergunakan untuk mengunduh dari jaringan penyedia layanan data. Hal-hal tersebut berhubungan dengan tingkat konsumsi energi di baterai pada perangkat anda. Sedangkan apa selera masakan pak Camat di tempat anda akan kecil derajat kemungkinannya untuk berpengaruh pada seberapa lama baterai di perangkat telepon anda. Terutama jika anda tidak mengenal pak Camat dan tidak pernah berkomunikasi dengannya, apalagi lewat telepon anda.

Hanya karena dua hal memiliki trend data yang sama, tidak berarti keduanya memiliki hubungan sebab akibat. Bisa jadi bentuk hubungannya (korelasinya) bersifat kebetulan semata (lihat kembali Gambar 12). Di Internet dapat ditemui situs yang menyajikan hal-hal yang tampaknya dapat disalahartikan sebagai hal-hal yang memiliki hubungan sebab akibat. Beberapa dapat menjadi cukup lucu dan bisa menjadi salah satu sumber hiburan.

Gambar 20.

Gambar 21.

Jadi, bagaimanakah cara untuk mendeteksi adanya hubungan sebab-akibat (causality)? Jadi apakah bisa dianggap bahwa memang kedatangan Presiden Joko Widodo ke Jeddah waktu itu memang menyebabkan celakanya ratusan jamaah di Makkah?

Gambar 22.

screenshot_20160918-005858.jpgGambar 23.

Di antara beberapa cara yang bisa dipakai untuk membantu mengenali adanya causality, yang menurut saya relatif praktis dan intuitif untuk keperluan belajar Elda dan hidup sebari-hari adalah yang dikenal sebagai Hill’s criteria for causation. Sebagaimana hampir semua metode, cara ini pun tidak luput dari kekurangan. Jadi bisa jadi untuk keperluan lain, dibutuhkan cara yang berbeda pula. Cara ini lebih dikenal dalam ilmu epidemiology, namun dapat dimanfaatkan juga untuk bidang lain. Yang menurut saya akan lebih sering dipakai di perkuliahan elda saya beri warna kata merah.

[intense_panel shadow=”12″ title=”Hill’s criteria for causation” title_color=”#DADADA” title_font_color=”#CC0000″ border=”1px solid #4C0000″]

The list of the criteria is as follows:

  1. Strength (effect size): A small association does not mean that there is not a causal effect, though the larger the association, the more likely that it is causal.[1]
  2. Consistency (reproducibility): Consistent findings observed by different persons in different places with different samples strengthens the likelihood of an effect.[1]
  3. Specificity: Causation is likely if there is a very specific population at a specific site and disease with no other likely explanation. The more specific an association between a factor and an effect is, the bigger the probability of a causal relationship.[1]
  4. Temporality: The effect has to occur after the cause (and if there is an expected delay between the cause and expected effect, then the effect must occur after that delay).[1]
  5. Biological gradient: Greater exposure should generally lead to greater incidence of the effect. However, in some cases, the mere presence of the factor can trigger the effect. In other cases, an inverse proportion is observed: greater exposure leads to lower incidence.[1]
  6. Plausibility: A plausible mechanism between cause and effect is helpful (but Hill noted that knowledge of the mechanism is limited by current knowledge).[1]
  7. Coherence: Coherence between epidemiological and laboratory findings increases the likelihood of an effect. However, Hill noted that “… lack of such [laboratory] evidence cannot nullify the epidemiological effect on associations”.[1]
  8. Experiment: “Occasionally it is possible to appeal to experimental evidence”.[1]
  9. Analogy: The effect of similar factors may be considered.[1]

[/intense_panel]

Jadi IMHO untuk “kasus pak Jokowi” tadi memang agak rumit mirip dengan urusan rokok. Tetapi saya rasa aman untuk menyatakan bahwa sekalipun possible tetapi implausible. Sekalipun mungkin terjadi di alam raya ini, tetapi kemungkinannya teramat kecil ๐Ÿ™‚ . Seberapa sering saat pak Presiden Joko Widodo berkunjung ke suatu daerah, maka saat mendarat terjadi kecelakaan serupa? Seberapa sering terjadi saat seorang presiden atau pemimpin politik mendarat di Jeddah maka terjadi peristiwa nahas di Makkah? Bagaimana di tempat lain, seberapa sering ada kejadian seorang presiden mendarat dan di saat yang sama terjadi kecelakaan dengan korban ratusan orang?

Jika pemahaman dasar korelasi dan kausalitas seperti ini diabaikan, tidaklah aneh jika nantinya ada mahasiswa engineering yang mengoleskan selai kacang di perangkat catu daya dengan tujuan untuk menghidupkannya (on) ๐Ÿ˜€ . Tentu konyol, tetapi … hey, jika semuanya dianggap begitu saja sangat mungkin terjadi dan tidak lagi mempertimbangkan prinsip-prinsip ilmiah yang dikembangkan oleh umat manusia, maka cara apapun menjadi (seolah) wajar kan?

 

img_57e28cf3e393b

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *