Palu dan paku

Salah satu yang perlu diperhatikan dalam belajar adalah perimbangan antara jumlah sarana bantu dengan kebutuhan. Abraham Maslow menyatakan salah satu sisinya dengan baik.

screenshot_20160918-13001001.jpg.jpg

screenshot_20160918-130509.jpg

screenshot_20160918-130636.jpg

Jika satu-satunya alat bantu (peralatan) yang kita miliki adalah palu, maka segala sesuatu akan mulai nampak seperti paku. Begitulah kita-kita ungkapan yang juga sering dianggap sebagai hukum instrumen ini. Pesannya sederhana jika memang diperlukan, hendaknya memilki sejumlah peralatan dan kemampuan yang sesuai untuk menyelesaikan masalah.

Jenis dan jumlah “peralatan” tentu berbeda antar tiap lingkup bidang pekerjaan, tiap wilayah geografis dan bahkan tiap kegiatan yang spesifik. Tetapi pesan moralnya tetap sama, seringkali diperlukan peralatan yang berbeda untuk kegiatan yang berbeda (kadang-kadng bahkan untuk kegiatan yang sama). Mengandalkan dan bersandar hanya pada satu peralatan (sarana) saja bisa mendatangkan kesulitan dan bahkan bahaya.

sumber gambar: quotesgram.com

Ada banyak peralatan yang berbeda untuk tugas dan kegiatan yang berbeda.

sumber gambar: www.armaholic.com.

Pernahkah anda menonton film Black Hack Down? Salah satu sisi menarik dari film itu yang relevan dengan pembahasan ini adalah mengenai persiapan dan kelengkapan yang dibawa menuju medan perang. Dalam film yang diangkat dari kisah nyata itu diceritakan bagaimana misi diperkirakan akan selesai cepat. Diasumsikan pasukan akan pulang sebelum gelap malam menyelimuti. Saat ternyata perkiran itu meleset, mereka berada dalam kesulitan. Antara lain karena perangkat bantu yang lebih memudahkan mereka untuk berfungsi sebagai anggota pasukan pada malam hari, tidak mereka bawa.

Di sisi lain, perlu juga dijaga keseimbangan agar tidak terlalu banyak mempelajari dan membawa sarana bantu. Ini sering sama jelek akibatnya dengan saat kurang membawa sarana bantu yang sesuai. Menghabiskan sumber daya untuk sesuatu yang tidak dipergunakan bukan sesuatu yang baik dalam praktik kerekayasaan (engineering).

sumber gambar: oldtimetoolman.com.

sumber gambar: recruitshop.com.au.

Prinsip “sedia payung sebelum hujan” memang baik dan perlu dilakukan. Tetapi melakukannya secara berlebihan, tanpa pertimbangan dan pemikiran matang hanya akan menyusahkan pencapaian penyelesaian yang efektif dan efisien.

Lalu bagaimana cara untuk mencapai titik kesetimbangan antara kekurangan peralatan dan kelebihan peralatan? Pertanyaan seperti ini tidak terlalu mudah untuk dijawab, karena seperti yang sudah saya tulis di paragraf sebelumnya ada faktor-faktor yang menentukan. Cara yang paling mungkin dilakukan adalah dengan mempelajari pengalaman orang-orang yang telah menjalani / mengalami / melakukan hal yang sama. Dari mereka bisa dipelajari apa saya yang diperlukan. Sebagai pelengkap bisa juga dilakukan semacam ekstrapolasi, memperkirakan apa yang mungkin diperlukan berdasarkan informasi pengalaman yang sudah ada (meskipun tidak persis sama).

Dalam mempelajari elektronika sendiri ada beberapa sarana bantu yang bisa dipakai untuk menyelesaikan masalah. Di tingkat rangkaian misalnya ada beberapa aplikasi yang bisa dipergunakan yang namanya mudah ditemukan dengan bantuan mesin pencari Google atau Bing.

Misalnya LTspice, ini adalah simulator yang penampilannya sederhana tetapi cukup mumpuni untuk bidang elektronika daya. Simulator ini secara legal gratis, tidak perlu membajak, jadi bukan “barang haram” 😀 . Bebas pakai untuk keperluan belajar sampai dalam pekerjaan. Simulator yang bekerja di sistem PC ini dapat berfungsi dalam lingkungan OS Windows maupun GNU/Linux. Simulator ini bersifat offline, pengguna tidak memerlukan sambungan ke Internet untuk mempergunakannya.

Ada beberapa contoh simulator rangkaian online, misalnya PartSim atau EasyEDA, sebagai alternatif dari CircuitLab. Sampai batas tertentu, simulator gratisan ini bisa dipakai untuk keperluan belajar. Terutama jika langganan akses penuh ke CircuitLab masih mahal.

Berbeda dari zaman kakek nenek dulu yang mengakses SPICE dari workstation, generasi sekarang bisa melakukan simulasi rangkaian di perangkat telepon genggam. Mulai dari yang gratis dengan sejumlah batasan sampai yang versi lengkap. Tidak hanya aplikasi simulasi rangkaian, juga sejumlah aplikasi perhitungan dan referensi untuk bidang elektrikal dan elektronika.

screenshot_20160918-093615.jpg

 

 

Korelasi dan kausalitas

Gambar 1.

Gambar2.

Illiterate dapat diterjemahkan secara sederhana sebagai buta huruf. Tetapi apa yang dimaksud oleh Alvin Toffler bukan buta huruf dalam pengertian seperti itu. Yang dimaksud “buta huruf” lebih tepat sebagai kurang berpengetahuan (lack of knowledge) atau bahkan kurang berpendidikan (having little education). Jadi menurut Alvin Toffler berbeda dengan abad sebelumnya, illiterate di abad 21 bukan lagi mereka yang tidak dapat membaca dan menulis. Melainkan siapa saja yang tidak dapat belajar, untuk suatu saat jika diperlukan melupakan apa yang pernah dipelajarinya dan mengulangi proses belajar. Singkatnya seseorang yang tidak dapat memperbaharui pengetahuannya.

Bisa diperhatikan dalam kehidupan sehari-hari di masa-masa ini, disamping ada hal-hal yang belum banyak berubah selama ratusan tahun, ada pula yang berubah jauh dari dekade (sepuluh tahun) sebelumnya. Dari hal-hal yang praktis sampai ke hal-hal yang lebih fundamental (mendasar). Misalnya cara kita mempergunakan perangkat komunikasi telepon sudah jauh berubah dari sepuluh tahun yang lalu, apa lagi berpuluh tahun yang lalu. Cara kita memperlakukan data dan informasi sudah banyak pula berubah. Tidak lagi sama dengan yang lalu.

Mereka yang menolak untuk berubah, menentang perubahan bisa jadi bukan hanya akan memperlambat kemajuan. Bahkan bisa benar-benar menghalangi kemajuan. Contoh ringan dengan cita rasa komedi, bayangkan misalnya jika para penguasa berkeras untuk mempergunakan mesin ketik mekanis dan melarang penggunaan perangkat PC seperti yang kita kenal sekarang. Betapa susahnya kemajuan dalam berbagai bidang diraih. Karena itu Alvin Toffler masih terbukti benar, kita harus bersedia untuk selalu belajar, dan mengulangi pelajaran. Mengganti hal-hal yang menghalangi kemajuan.

Gambar 3.

Saat saya menulis post ini, judul berita pada Gambar 3 mungkin akan disikapi dengan berbeda dengan saat berita itu pertama kali diturunkan. Judul berita itu bisa jadi saat ini dimaknai sebagai sesuatu yang wajar, sekedar menggambarkan kebetulan belaka. Urutan dari dua kejadian yang memang tidak berkaitan. Tetapi berita itu dan yang serupa dengannya saat pertama kali ditayangka bisa disikapi sebagai sesuatu yang spekulatif, atau malah provokatif. Seolah-olah karena Jokowi (Presiden Joko Widodo) mendarat di Jeddah maka terjadi musibah di Makkah. Ini tentu dapat dinyatakan sebagai kesalahan asumsi pembaca saja. Tetapi dengan suasana saat itu, “permainan” asumsi bisa mudah terjadi. Bagi yang lupa atau belum mengetahui suana saat itu bisa membaca di bagian komentar post berita itu dan berita yang serupa, untuk memahami suasana saat itu.

Berita seperti itu hanyalah salah satu dari banyak bahan yang bisa menjadi pelajaran dan penerapan pemahaman tentang korelasi dan kausalitas. Pemahaman ini lebih penting perlu diterapkan di dalam bidang kerekayasaan (engineering) untuk memaksimalkan penggunaan sumber daya sehingga efektif dan efisien.

Sebelum melanjutkan mengenai korelasi dan kausalitas ada baiknya membaca terlebih dahulu pengertian (definisi) kata-kata utama yang dipergunakan berdasarkan kamus yang umum diterima dan dipakai sebagai acuan sebagai berikut:

Gambar 4.

screenshot_20160916-090709.jpgGambar 5.

screenshot_20160916-090634.jpgGambar 6.

screenshot_20160916-090731.jpgGambar 7.

screenshot_20160916-090618.jpgGambar 8.

screenshot_20160916-090742.jpgGambar 9.

Gambar 10.

screenshot_20160916-091701.jpgGambar 11.

screenshot_20160916-092018.jpgGambar 12.

 

Gambar 13.

Pada Gambar 13 (sumber: academic.uprm.edu) contoh yang sepintas konyol tetapi sebenarnya memberi contoh potensi kesalah pahaman yang serius adalah mengenai hubungan antara jumlah anggota pemadam kebakaran dengan tingkat kerusakan oleh kebakaran. Bisa jadi data menunjukkan bahwa untuk tiap kasus terdapat pola bahwa semakin banyak jumlah anggota pemadam kebakaran yang merespon, mendatangi dan berusaha memadamkan suatu kebakaran maka semakin besar juga kerusakan di lokasi kebakaran. Sepintas seolah-olah para anggota pemadam kebakaranlah yang menyebabkan bertambah besarnya kerusakan. Untungnya untuk contoh semacam ini, yang saya sebut sebagai “sangat kontras”, mudah bagi banyak orang untuk mendeteksi kesalahan logika yang mungkin terjadi. Tetapi bagaimana dengan hal-hal lain yang “lebih samar” dari contoh ini?

sci4Gambar 14.

Contoh pada Gambar 14 lebih menantang daripada contoh pada Gambar 13. Contoh tentang hubungan antara tingkat konsumsi ice cream dengan jumlah kasus orang tenggelam memang lebih “samar” daripada contoh pada Gambar 13. Ada lebih banyak kemungkinan yang dapat dipikirkan mengenai contoh ini. Lagi pula bisa jadi informasi mengenai hal ini lebih sedikit dan jarang ditemui oleh banyak orang daripada kejadian kebakaran (Gambar 13). 

Correlation vs. Causation (A Mathographic)Gambar 15.

Sains selalu dikembangkan dari waktu ke waktu oleh manusia. Meskipun cukup banyak yang sudah diketahui sehingga manusia mampu untuk membangun peradaban, ada banyak pula yang belum diketahui. Masih dipelajari dan coba dijelaskan. Bisa jadi ada jauh lebih banyak yang bahkan belum diketahui bahwa kita belum tahu. Dengan kata lain, kita bahkan belum bisa memformulasikan pertanyaan yang tepat untuk kemudian dicari jawabannya.

Karena itu hubungan antara dua atau lebih hal di alam raya ini masih terus diselidiki. Banyak hal yang masih dicari bentuk hubungannya dan ada pula yang bahkan perlu dipelajari ulang. Dengan kemajuan sarana bantu teknologi, ada pemahaman-pemahaman baru tentang hal-hal yang sudah pernah ditelaah sebelumnya.

Setelah beberapa membaca beberapa contoh yang bersifat umum, sekarang bagaimanakah penerapan pemahaman terhadap korelasi dan kausalitas dalam pelajaran elektronika daya? Sebagai catatan sebenarnya penerapannya tidak hanya untuk mata kuliah elda (elektronika daya) saja, melainkan juga untuk semua mata kuliah pada bidang elektrikal/elektronika. Bahkan juga untuk bidang engineering (temasuk engineering technology) secara umum.

Salah satu contoh yang relatif paling gampang adalah penerapannya pada hukum Ohm dengan variabel (faktor-faktor) seperti pada Gambar 16. Bagaimana nilai daya jika salah satu variabel berubah sementara yang lain tetap? Apakah hubungannya sebab-akibat? Mana variabel yang berbanding lurus dan yang mana yang berbanding terbalik (berikut format persamaannya)?

screenshot_20160916-092414.jpgGambar 16.

screenshot_20160916-095900.jpgGambar 17.

Dari bentuk persamaan di Gambar 16, sekarang beralih ke simulasi seperti pada Gambar 17. Aplikasi (program) simulasi yang modern memberikan fasilitas untuk mampu mengakomodasi sejumlah kerumitan dan anomali yang dapat ditemui di dunia fisik. Namun demikian banyak juga simulator yang bekerja dengan sangat menyederhanakan fenomena fisika yang sebenarnya terjadi. Meski begitu dalam pelajaran elda, cukup banyak fenomena umum yang bisa dipelajari dengan menggunakan simulator seperti pada Gambar 17. Misalnya, komponen apa saja yang berhubungan dengan bentuk gelombang tegangan antara kaki resistor atau arus yang melintasinya? Apakah konfigurasi diode mempengaruhi frekuensi pada tegangan di kaki-kaki resistor?

Hubungan antar komponen (variabel) dalam simulasi relatif lebih dapat diuji coba dan lebih mudah diperhatikan. Pada komponen fisik, hal tersebut tidak selalu terjadi. Ilmu elektronika (termasuk elektronika daya) merupakan turunan dari ilmu Fisika. Pemahaman dalam ilmu Fisika sendiri terus menerus dikembangkan dan dipakai untuk coba memahami alam semesta, termasuk dunia yang sangat kecil misalnya untuk memahami material untuk komponen elektronika. Belum semua bentuk hubungan yang mungkin terjadi bisa terpetakan dengan baik.

Yang sudah dipahami dengan baik oleh banyak orang pun, belum tentu bisa dipahami (atau diingat dengan baik) oleh orang lain. Misalnya para ilmuwan dan engineer di negara-negara yang lebih maju teknologinya punya lebih banyak kesempatan untuk bergelut dengan komponen, sistem dan alat sehingga dapat lebih mudah untuk memahami hubungan antar bagian. Mereka yang tinggal di negara-negara yang lebih tertinggal dalam sains dan teknologi perlu terus menerus belajar dari mereka yang memang sudah lebih maju. Berbagai fenomena yang normal tetapi belum dipahami dan bahkan anomali seringkali sudah pernah dibahas di tempat lain. Sudah pula didokumentasikan dalam berbagai format. Contoh sederhana adalah penjelasan tentang satuan untuk induktansi pada Gambar 18.

screenshot_20160916-093346.jpgGambar 18.

screenshot_20160916-093622.jpgGambar 19.

Gambar 19 membawa kita lebih jauh lagi dari bentuk persamaan, kembali ke pemahaman langsung kita terhadap dunia sekeliling. Kali ini dengan bantuan sejumlah sensor.

Bagi yang memiliki smartphone besar kemungkinan untuk pernah melihat tampilan serupa pada Gambar 19. Baterai yang terisi penuh energi akan semakin cepat habis jika penggunaannya boros daya. Ada beberapa faktor yang terlibat, misalnya pengaturan tingkat terang pada layar atau seberapa sering perangkat dipergunakan untuk mengunduh dari jaringan penyedia layanan data. Hal-hal tersebut berhubungan dengan tingkat konsumsi energi di baterai pada perangkat anda. Sedangkan apa selera masakan pak Camat di tempat anda akan kecil derajat kemungkinannya untuk berpengaruh pada seberapa lama baterai di perangkat telepon anda. Terutama jika anda tidak mengenal pak Camat dan tidak pernah berkomunikasi dengannya, apalagi lewat telepon anda.

Hanya karena dua hal memiliki trend data yang sama, tidak berarti keduanya memiliki hubungan sebab akibat. Bisa jadi bentuk hubungannya (korelasinya) bersifat kebetulan semata (lihat kembali Gambar 12). Di Internet dapat ditemui situs yang menyajikan hal-hal yang tampaknya dapat disalahartikan sebagai hal-hal yang memiliki hubungan sebab akibat. Beberapa dapat menjadi cukup lucu dan bisa menjadi salah satu sumber hiburan.

Gambar 20.

Gambar 21.

Jadi, bagaimanakah cara untuk mendeteksi adanya hubungan sebab-akibat (causality)? Jadi apakah bisa dianggap bahwa memang kedatangan Presiden Joko Widodo ke Jeddah waktu itu memang menyebabkan celakanya ratusan jamaah di Makkah?

Gambar 22.

screenshot_20160918-005858.jpgGambar 23.

Di antara beberapa cara yang bisa dipakai untuk membantu mengenali adanya causality, yang menurut saya relatif praktis dan intuitif untuk keperluan belajar Elda dan hidup sebari-hari adalah yang dikenal sebagai Hill’s criteria for causation. Sebagaimana hampir semua metode, cara ini pun tidak luput dari kekurangan. Jadi bisa jadi untuk keperluan lain, dibutuhkan cara yang berbeda pula. Cara ini lebih dikenal dalam ilmu epidemiology, namun dapat dimanfaatkan juga untuk bidang lain. Yang menurut saya akan lebih sering dipakai di perkuliahan elda saya beri warna kata merah.

[intense_panel shadow=”12″ title=”Hill’s criteria for causation” title_color=”#DADADA” title_font_color=”#CC0000″ border=”1px solid #4C0000″]

The list of the criteria is as follows:

  1. Strength (effect size): A small association does not mean that there is not a causal effect, though the larger the association, the more likely that it is causal.[1]
  2. Consistency (reproducibility): Consistent findings observed by different persons in different places with different samples strengthens the likelihood of an effect.[1]
  3. Specificity: Causation is likely if there is a very specific population at a specific site and disease with no other likely explanation. The more specific an association between a factor and an effect is, the bigger the probability of a causal relationship.[1]
  4. Temporality: The effect has to occur after the cause (and if there is an expected delay between the cause and expected effect, then the effect must occur after that delay).[1]
  5. Biological gradient: Greater exposure should generally lead to greater incidence of the effect. However, in some cases, the mere presence of the factor can trigger the effect. In other cases, an inverse proportion is observed: greater exposure leads to lower incidence.[1]
  6. Plausibility: A plausible mechanism between cause and effect is helpful (but Hill noted that knowledge of the mechanism is limited by current knowledge).[1]
  7. Coherence: Coherence between epidemiological and laboratory findings increases the likelihood of an effect. However, Hill noted that “… lack of such [laboratory] evidence cannot nullify the epidemiological effect on associations”.[1]
  8. Experiment: “Occasionally it is possible to appeal to experimental evidence”.[1]
  9. Analogy: The effect of similar factors may be considered.[1]

[/intense_panel]

Jadi IMHO untuk “kasus pak Jokowi” tadi memang agak rumit mirip dengan urusan rokok. Tetapi saya rasa aman untuk menyatakan bahwa sekalipun possible tetapi implausible. Sekalipun mungkin terjadi di alam raya ini, tetapi kemungkinannya teramat kecil 🙂 . Seberapa sering saat pak Presiden Joko Widodo berkunjung ke suatu daerah, maka saat mendarat terjadi kecelakaan serupa? Seberapa sering terjadi saat seorang presiden atau pemimpin politik mendarat di Jeddah maka terjadi peristiwa nahas di Makkah? Bagaimana di tempat lain, seberapa sering ada kejadian seorang presiden mendarat dan di saat yang sama terjadi kecelakaan dengan korban ratusan orang?

Jika pemahaman dasar korelasi dan kausalitas seperti ini diabaikan, tidaklah aneh jika nantinya ada mahasiswa engineering yang mengoleskan selai kacang di perangkat catu daya dengan tujuan untuk menghidupkannya (on) 😀 . Tentu konyol, tetapi … hey, jika semuanya dianggap begitu saja sangat mungkin terjadi dan tidak lagi mempertimbangkan prinsip-prinsip ilmiah yang dikembangkan oleh umat manusia, maka cara apapun menjadi (seolah) wajar kan?

 

img_57e28cf3e393b

 

 

05 Belajar dengan cara membaca

Membaca adalah salah catu bagian dari proses belajar yang penting. Di era Internet ini, ada beberapa sumber belajar lain selain bahan bacaan. Misalnya berbagai video instruksional yang menunjukkan bagaimana caa melakukan sesuatu. Ada pula audiobook yang membuat orang bisa mengetahui isi suatu bacaan melalui media suara, cukup dengan mendengarkan. Ada pula podcast dengan isi penyampaian dari seorang pembica atau perbincangan dari beberapa orang. Namun demikian membaca masih menjadi kegiatan yang sangat penting dari proses belajar.

Ada beberapa cara membaca dan belajar yang baik yang berguna untuk pelajar dan semua orang yang sedang belajar, termasuk mahasiswa. Di antara yang dapat dipraktikkan adalah metode PSQ5R. Metode ini memiliki beberapa variasi, (di antaranya yang bisa jadi adalah pendahulunya) semisal SQ3R seperti pada Gambar 1.

Gambar 1.Gambar 2. Contoh PSQ5R.

Gambar 2 adalah mind map yang menyederhanakan keseluruhan proses dalam PSQ5R dan dipergunakan untuk mempelajari bahan bacaan mengenai Power Electronics. Detail mengenai PSQ5R dapat dengan mudah dicari di Internet dengan mencantumkan kata-kata kunci di mesin pencari seperti Google maupun Bing.

[intense_panel shadow=”4″ title=”Penyalinan” title_color=”#ebebeb” title_font_color=”#ff0000″ border=”1px solid #cfc0c0″]

Keterangan mengenai PSQ5R berikut ini saya salin dari halaman: http://www.yugzone.ru/speed_reading/speedreading/r025.html. Disalin ulang di sini untuk menjamin ketersediaan saat belajar. Silakan menuju situs asal untuk membaca lengkap dan gunakan ScrapBook untuk lebih menjamin ketersediaan bacaan.

[/intense_panel]

[su_panel border=”2px solid #26fb8d” shadow=”1px 2px 2px #eeeeee” radius=”5″]

What is the purpose of reading
Why are you reading this article or chapter, and what do you want to get out of it? When you have accomplished your purpose, stop reading. For instance, your purpose in seeking a number in the telephone book is specific and clear, and once you find the number, you stop “reading.” Such “reading” is very rapid indeed, perhaps 100,000 word a minute! Perhaps it should be called by its proper name, “scanning”, but when it suits your purpose, it is fast and efficient. This principle, of first establishing your purpose, whether to get the Focus or Theme, or main ideas, or main facts or figures, or evidence, arguments and examples, or relations, or methods, can prompt you to use a reading method that gets what you want in the minimum time.

Survey or skim the text
Glance over the main features of the piece, the lead and summary paragraphs, look at the title, the headings, to find out what ideas, to get an overview of the piece, problems and questions are being discussed. In doing this you should find the Focus of the piece that is, the central theme or subject, what it is all about; and perhaps the Perspective, that is, the approach or manner in which the author treats the theme. This survey should be carried out in no more than a minute or two.

Ask the question
Compose questions that you aim to answer:

What do I already know about this topic? – In other words, activate prior knowledge. Turn the first heading into a question, to which you will be seeking the answer when you read. For example: “What were ‘the effects of the Hundred Years’ War’?” – and you might add “on democracy, or on the economy”? Or “What is ‘the impact of unions on wages’?”

Read the text selectively
Read to find the answers to your question. By reading the first sentence of each paragraph you may well get the answers. Sometimes the text will “list” the answers by saying “The first point is … Second point is…” and so on. And in some cases you may have to read each paragraph carefully just to understand the next one, and to find the Focus or main idea buried in it. In general, look for the ideas, information, evidence, etc., that will meet your purpose.

Recite
Without looking at the book, recite the answers to the question, using your own words as much as possible. If you cannot do it reasonably well, look over that section again.

Reduce and record
Make a brief outline of the question and your answers. The answers should be in key words or phrases, not long sentences. For example, “Effects of 100 Yrs’ War? – consolidate Fr. King’s power, Engl. off continent”. Or, “Unions on Wages? – Uncertain, maybe 10-15%”.

Reflect the information
Recent work in cognitive psychology indicates that comprehension and retention are increased when you “elaborate” new information. This is to reflect on it, to turn it this way and that, to compare and make categories, to relate one part with another, to connect it with your other knowledge and personal experience, and in general to organize and reorganize it. This may be done in your mind’s eye, and sometimes on paper. Sometimes you will at this point elaborate the outline of step 6, and perhaps reorganize it into a standard outline, a hierarchy, a table, a flow diagram, a map, or even a “doodle.” Then you go through the same process, steps 3 to 7, with the next section, and so on.

Review the text
Survey your “reduced” notes of the paper or chapter to see them as a whole. This may suggest some kind of overall organization that pulls it all together. Then recite, using the questions or other cues as starters or stimuli for recall. This latter kind of recitation can be carried out in a few minutes, and should be done every week or two with important material.

[/su_panel]

Selain metode atau cara membaca, yang juga penting dalam belajar adalah mencoba memahami bagaimana data dan informasi dapat dipertahankan dalam ingatan. Atau yang lebih baik adalah memahami mengapa kita sering perlu belajar hal yang sama berulang-ulang.

[intense_panel shadow=”4″ title=”Penyalinan” title_color=”#ebebeb” title_font_color=”#ff0000″ border=”1px solid #cfc0c0″]

Keterangan berikut merupakan salinan. Disalin ulang di sini untuk menjamin ketersediaan saat belajar. Silakan menuju masing-masing situs asal untuk membaca lengkap dan gunakan ScrapBook untuk lebih menjamin ketersediaan bacaan.

[/intense_panel]

[su_panel border=”2px solid #FFBF00″ shadow=”1px 2px 2px #FFBF00″ radius=”5″]

The curve of forgetting graph

Gambar 3. The Curve of Forgetting.

You can change the shape of the curve! Reprocessing the same chunk of information sends a big signal to your brain to hold onto that data. When the same thing is repeated, your brain says, “Oh – there it is again, I better keep that.” When you are exposed to the same information repeatedly, it takes less and less time to “activate” the information in your long term memory and it becomes easier for you to retrieve the information when you need it.

Here’s the formula and the case for making time to review material: within 24 hours of getting the information – spend 10 minutes reviewing and you will raise the curve almost to 100% again. A week later (day 7), it only takes 5 minutes to “reactivate” the same material, and again raise the curve. By day 30, your brain will only need 2-4 minutes to give you the feedback, “yes, I know that…”

–sumber: https://uwaterloo.ca/counselling-services/curve-forgetting

[/su_panel]

[su_panel border=”2px solid #86729C” shadow=”1px 2px 2px #86729C” radius=”5″]

Gambar 4.

–sumber: http://www.byui.edu/learning-and-teaching/news/lest-they-forget

Ebbinghaus Forgetting curve - LearnThat learning curveGambar 5.

–sumber: learnthat.org

[/su_panel]

[su_panel border=”2px solid #80B3FF” shadow=”1px 2px 2px #80B3FF” radius=”5″]

What is the Spacing Effect?

When we talk about the spacing effect, we are talking about spacing repetitions of learning points over time. The spacing effect occurs when we present learners with a concept to learn, wait some amount of time, and then present the same concept again.

Spacing can involve a few repetitions or many repetitions. Spaced repetitions need not be verbatim repetitions. Repetitions of learning points can include the following:

  • Verbatim repetitions.
  • Paraphrased repetitions (changing the wording slightly).
  • Stories, examples, demonstrations, illustrations, metaphors, and other ways of providing context and example.
  • Testing, practice, exercises, simulations, case studies, role plays,  and other forms of retrieval practice.
  • Discussions, debate, argumentation, dialogue, collaboration, and other forms of  collective learning.

 

The following findings are highlighted in the report:

  1. Repetitions—if well designed—are very effective in supporting learning.
  2. Spaced repetitions are generally more effective than non-spaced repetitions.
  3. Both presentations of learning material and retrieval practice opportunities produce benefits when utilized as spaced repetitions.
  4. Spacing is particularly beneficial if long-term retention is the goal—as is true of most training situations. Spacing helps minimize forgetting.
  5. Wider spacings are generally more effective than narrower spacings, although there may be a point where spacings that are too wide are counterproductive. A good heuristic is to aim for having the length of the spacing interval be equal to the retention interval.
  6. Spacing repetitions over time can hurt retrieval during learning events while it generates better remembering in the future (after the learning events).
  7. Gradually expanding the length of spacings can create benefits, but these benefits generally do not outperform consistent spacing intervals.
  8. One way to utilize spacing is to change the definition of a learning event to include the connotation that learning takes place over time—real learning doesn’t usually occur in one-time events.

So what is the spacing effect? It is the finding that spaced repetitions produce more learning—better long-term retention—than repetitions that are not spaced. It is also the finding that longer spacings tend to produce more long-term retention than shorter spacings (up to a point where even longer spacings are sometimes counterproductive).

Note that distributing unrelated, non-repetitious learning events over time does not officially constitute the spacing effect. When we give learners a rest between learning sessions, we may limit their learning fatigue, but we’re not necessarily providing them with all the advantages that spacing can provide. Again, the spacing effect occurs when
repetitions of learning points are distributed over time.

What Causes the Spacing Effect?
Despite the fact that the spacing effect is one of the most studied phenomena in the field of learning research its causes are still being debated and discussed. The following reasonable explanations have been put forth:
1. Wider spacings require extra cognitive effort and such effort creates stronger memory traces and better remembering.
2. Wider spacings create memory traces that are more varied than narrow spacings, creating multiple retrieval routes that aid remembering.
3. Wider spacings produce more forgetting during learning, prompting learners to use different and more effective encoding strategies that aid remembering in the future.

 

— sumber: Spacing_Learning_Over_Time__March2009v1_.pdf

[/su_panel]